Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 21 Agustus 2012

Merangkai Pilu Membangun Asa

“Apa yang pernah terjadi, akan terjadi lagi. Apa yang pernah dilakukan, akan dilakukan lagi. Tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini”, demikianlah sepenggal kalimat yang menjadi awal mula pergumulan seorang ‘pemikir’ pada masa hidupnya. Hal tersebut ia rangkai dalam satu tulisan yang dikemas menjadi satu kitab dalam Perjanjian Lama yang hingga saat ini kita kenal dengan Kitab Pengkhotbah. Sekilas jika kita perhatikan teks tersebut sangat kental dengan nuansa putus asa dan pola pikir ‘negative thinking’, yakni suatu pola berpikir yang belakangan ini sangat tidak dianjurkan untuk diterapkan. Namun jika kita mau mendalami latar belakang teks, kita akan diarahkan pada satu gambaran bahwa ketika sistem keagamaan berjalan dengan baik, maka bersamaan dengan itu pula pola hidup yang penuh pertentangan, ketidakadilan dan hal-hal yang sulit dimengerti selalu mendampinginya. Dan itulah yang kerap dipergumulkan oleh ‘sang pemikir’ ini dalam perjalanan hidupnya, seolah-olah ia melihat ambivalensi antara keimanan dan pola hidup keseharian, sehingga ia dengan tegas mengatakan bahwa segala yang terjadi di bawah langit adalah sia-sia dan usaha menjaring angin. Sadar atau tidak sadar mungkin saja perjalanan hidup kita tidak ubahnya seperti latar belakang kehidupan ‘sang pemikir’ yang ia tuliskan dalam kitab Pengkhotbah. Tanpa terasa kita sudah menapaki Tahun 2012 yang konon katanya ‘baru’, dan hal ini nyata dalam pesta sukacita yang kita rayakan dengan gegap gempitanya sampai seolah-olah kita merasa awal tahun yang kita lewati terlalu singkat. Selepas sukacita melewati masa-masa tahun baru, di bulan-bulan selanjutnya kita akan memasuki nuansa dukacita dan kesedihan, dimana kita akan memasuki musim Paskah. Suatu musim yang menuntun kita pada peringatan penderitaan Yesus yang mengorbankan diri-Nya mati di Kayu Salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Musim ini biasanya selalu dipenuhi dengan ornament penayangan film-film yang mengambarkan akan sakitnya penderitaan seorang Yesus yang rela mati untuk kita, sehingga pada akhirnya membuat kita terlarut dalam kesedihan. Setelah melewati masa dukacita dalam musim Paskah, kembali kita akan memasuki musim sukacita karena akan menyambut hari kelahiran Sang Juruselamat yang biasanya akan kita peringati melalui perayaan Natal. Demikianlah hal tersebut akan berulang dalam kehidupan kita dan akan kita lewati setiap tahunnya, seolah-olah itu sudah berjalan dengan sendirinya. Banyak agenda yang sudah kita rencanakan setiap tahunnya untuk melewati musim-musim itu dan pada musim-musim inilah biasanya gereja akan dipenuhi oleh berbagai program yang selalu menyibukkan gereja, mulai dari pimpinan jemaatnya, para penatuanya bahkan sampai kepada setiap jemaatnya. Setiap orang yang mengaku dirinya Kristen pasti ingin selalu ambil bagian dalam musim dan perayaan tersebut, ya minimalnya ikut dalam kebaktian gerejalah. Nah pertanyaannya sekarang adalah apakah setiap peringatan yang telah kita lewati selama ini membawa dampak baik bagi kehidupan kita? Apakah setiap peristiwa tersebut sudah membawa kita ke arah perubahan yang lebih baik lagi? Pertanyaan yang cukup mengelitik namun syarat dengan keraguan ketika kita harus menjawabnya, karena sesungguhnya pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban, melainkan membutuhkan satu pernyataan sikap yang dapat terlihat di dalam kehidupan setiap manusia yang telah menyatakan dirinya diselamatkan oleh Sang Juruselamat. Saat ini kita akan memasuki masa Paskah, masa dimana kita akan memperingati peristiwa penderitaan Yesus ketika Ia disiksa, disalibkan dan pada akhirnya mengalami kematian. Tak lama sesudah melewati masa kematian, seorang Yesus bangkit pada hari ketiga dan kembali memberitakan kabar sukacita. Inilah yang menjadi puncak pada perayaan masa Paskah, yakni masa dimana Yesus bangkit dan mengalahkan kuasa kematian. Belakangan ini banyak para penulis cerita dan sutradara film yang mencoba menggambarkan kembali peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang silam itu secara dramatis dan syarat dengan nilai-nilai heroik. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat merasakan dan terlarut dalam peristiwa itu secara emosional. Namun berbanding terbalik dengan hal tersebut banyak pula kalangan yang menganggap bahwa kisah ini tidak lebih dari sebuah pepesan kosong yang tak bermakna sama sekali. Mereka menganggap bahwa tokoh Yesus tidak lebih dari seorang revolusioner yang takhluk ditangan pemerintahan Kekaisaran Romawi dan bukan seorang pembebas atau Mesias yang selama ini didengungkan oleh kaum Yahudi. Bagi mereka peristiwa kebangkitan Yesus bukanlah satu hal yang benar-benar terjadi, melainkan satu bualan yang diciptakan oleh para murid-murid Yesus untuk memberi kesan adanya penggenapan akan Nubuatan Perjanjian Lama dan sebagai usaha pengembalian image Yesus bagi pengikut-Nya yang sempat terhilang oleh karena kekalahan-Nya yang berpuncak pada penyaliban dan kematian-Nya. Satu hal yang sangat sulit mungkin ketika kita yang mengaku sebagai pengikut-Nya harus berdiri dan memilih diantara dua pemahaman ini. Mengingat ada rentang waktu yang cukup jauh antara peristiwa itu dengan kehidupan kita pada saat ini, disamping memang peristiwa itu tidak terjadi pula di Negara kita Indonesia namun jauh di daerah Timur Tengah, yang pada akhirnya semakin mempersulit kita untuk mencari tahu tentang kebenaran ceritanya. Namun terlepas pada pilihan apakah kita akan memahami peristiwa Paskah sebagai cerita yang nyata atau fiktif belaka, ada satu hal yang patut kita teladankan melalui cerita kebangkitan dan peristiwa paskah dalam hidup kita, yakni sikap seorang Yesus yang mampu melawan segala ketakutan-Nya dan menghadapi segala pergumulan-Nya dengan satu ketegaran dan keyakinan. Melalui peristiwa paskah kita disadarkan bahwa sesungguhnya kehadiran Yesus pada dasarnya bukanlah untuk menghilangkan segala pergumulan dan membebaskan ketakutan kita sebagai manusia, melainkan memberi pemahaman bagaimana kita mengelola ketakutan serta pergumulan kita dan membangunnya menjadi satu kekuatan yang memperbaharui segala sesuatunya. Dan inilah yang diteladankan oleh Yesus, bagaimana Ia merangkai pilu-Nya, ketakutan-Nya dan pergumulan-Nya sebagai manusia menjadi sebuah kekuatan yang memampukan-Nya untuk menghadapi segala sesuatunya. Sikap Yesus ini didasari pula oleh konsep penyerahan diri secara utuh kepada Bapa-Nya, yang senantiasa memberi asa/pengharapan bahwa Bapa tidak akan pernah meninggalkan-Nya. Melalui moment kebangkitan Yesus nyata satu sikap bagaimana setiap manusia dapat memperbaharui dirinya, dan inilah yang diikrarkan Yesus dengan mengatakan “lihatlah, Aku telah membuat semuanya baru”, beberapa saat sebelum kematiannya. Bahkan Ia dengan tegas mengatakan, “hai wanita, jangan tangisi diriKu, tetapi tangisilah dirimu”, yang memberi pada satu pemahaman bahwa sesungguhnya Yesus tidak terlalu membutuhkan peringatan, namun lebih dari itu Ia butuh sikap nyata. Satu sikap yang mampu merangkai pilu dan membangunnya menjadi sebuah asa, sebagaimana juga pernah disuarakan oleh tokoh emansipasi perempuan semasa perjuangan bangsa Indonesia dengan ungkapan “habis gelap terbitlah terang”. Dan pada akhirnya ini pulalah yang disampaikan sang ‘pemikir’ dalam kesimpulan tulisannya dengan mengatakan “bahwa segala sesuatu indah pada waktunya”. Ya, segala sesuatu akan menjadi indah ketika kita mampu merangkai setiap kisah serta peristiwa hidup kita dan membangunnya menjadi sebuah asa. Melalui dukacita kita akan mengharapkan sukacita, melalui pergumulan hidup kita mengharapkan satu pertumbuhan menuju kedewasaan dan melalui ketakutan kita mengharapkan keteguhan iman. Segala sesuatu akan menjadi baru ketika kita mampu memandangnya dalam sudut pandang yang baru, dan untuk itu diperlukan sikap hati dan pola pikir yang baru terlebih dahulu, yakni suatu sikap hati dan pola pikir yang telah diperbaharui oleh Yesus melalui teladan hidup-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar