Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Senin, 20 September 2010

Berawal Kesederhanaan, Bermuara Keteladanan

Tanpa terasa selang beberapa bulan lagi, waktu akan mengiring kita pada satu hari kebesaran umat Kristen yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pesta perayaaan besar. Suatu pola yang mencirikan iman percaya umat kristen dalam menyambut Hari Natal, hari yang diyakini sebagai hari lahirnya Sang Juru Selamat. Sebagian umat Kristen akan menghabiskan waktu, tenaga dan materi untuk mempersiapkan perayaan itu semegah dan semaksimal mungkin, sebagai wujud iman dan pengakuan mereka akan penyertaan Sang Khalik yang dipresentasikan melalui kelahiran Yesus Kristus. Tanpa bermaksud memprovokasi kebanyakan umat kristen mungkin tidak terlalu mengambil pusing akan latar belakang hari penetapan itu, bagi kita yang terpenting hanya pesta perayaan tersebut.
Penelitian berkembang saat ini mulai mengkritisi akan penetapan hari kelahiran Yesus Kristus (Baca : Natal) tersebut. Kebanyakan para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Mereka beranggapan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan. Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang memedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.
Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan. Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya. Melalui tulisan sederhana ini penulis mencoba membuka paradigma kita akan cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya, yakni dengan menjelmakan kembali diri Yesus, terutama bela rasa yang pernah dibangkitkan-Nya, dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Salah satu pola bela rasa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-Nya tergambar jelas dalam kisah mujizat Yesus memberi lima ribu orang dengan lima ketul roti dan dua ekor ikan, suatu kisah menarik yang pernah dicatat dalam rangkaian Injil. Sebagian kalangan khususnya kristen literalis memahami kisah ini sebagai kisah sejarah yang benar – benar terjadi dimasa lampau ketika Yesus masih hidup. Mereka menganggap adalah hal yang wajar ketika Yesus melakukan hal sedemikian rupa melihat kapasitasnya sebagai Anak Allah yang mampu melakukan apa saja sekalipun itu mustahil di mata manusia.
Kontras dengan itu, kalangan Kristen kritis non-literalis memahami kisah mukjizat pemberian makan 5000 orang ini sebagai sebuah mitos, sebuah metafora, sebuah perumpamaan, a parable. Sebagai sebuah metafora, sebuah mitos, kisah ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah faktual apa adanya, tetapi mau menyampaikan sebuah pesan teologis, antara lain, bahwa Yesus adalah Musa yang baru, yang mengulangi kembali apa yang dulu Musa pernah lakukan bagi bangsa Israel, yakni mendatangkan manna, dalam perjalanan mereka di padang gurun setelah meninggalkan tanah Mesir (lihat Keluaran 16); atau, bahwa Yesus adalah Nabi Elia yang baru, yang sanggup tanpa habis-habis memberi roti kepada orang banyak, kurang lebih serupa dengan apa yang pernah dilakukan Elia kepada seorang janda di Sarfat dalam konteks lain (lihat 1 Raja-raja 17:7-16). Sebuah pesan teologis bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi sebuah berita yang disampaikan untuk membangkitkan antara lain sebuah penyembahan dan pengagungan, sebuah sikap devosional reverensial, terhadap figur-figur besar yang dikisahkan di dalamnya.
Tidak terlalu penting dibicarakan kita harus berdiri dimana dan memilih pendapat kalangan mana yang benar, tetapi point terpentingnya terletak pada bagaimana kita menjelmakan kisah mujizat tersebut di dalam perayaan Natal kita, dan bukan hanya sebagai kegiatan seremonial semata, tetapi sebagai tanggung jawab iman kita bersama yang senantiasa dilakukan setiap saat secara intens dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakan secara nyata.
Menurut data dari Unicef PBB, lebih dari 30 % dari total kurang lebih 600 juta anak-anak di negara-negara berkembang hidup kurang dari 1 US Dollar per hari; dan setiap 3,6 detik satu orang meninggal dunia karena kelaparan, umumnya seorang anak di bawah umur 5 tahun. Unicef menargetkan pada tahun 2015 jumlah orang yang hidup kurang dari 1 US Dollar per hari berkurang separuh, dan jumlah orang yang menderita kelaparan berkurang separuh (sumber http://www.unicef.org/mdg/poverty.html). Bukan hanya itu saja, ditatanan ruang lingkup negara kita, Indonesia keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) bukanlah hal yang asing bagi kita. Hampir diberbagai wilayah Indonesia tema gepeng ini selalu menjadi tajuk utama yang tidak akan pernah selesai untuk dibahas dan dikaji. Dan bahkan yang lebih uniknya, tema ini pula yang selalu di pakai oleh kalangan ‘pengobral janji’ sebagai ‘jualan’ yang laris manis untuk dijual dalam orasi politiknya dalam usaha mencari simpati dan dukungan rakyat ketika ia hendak memimpin negara ini.
Data seram di atas tentang kelaparan dan kemiskinan di tingkat global sudah seharusnya membuat gereja-gereja Kristen di seluruh dunia dapat sungguh-sungguh menghadirkan kembali Yesus Kristus di dunia sekarang ini untuk Dia, dari sedikit pangan yang tersedia, bisa kembali mengenyangkan orang yang lapar, yang jumlahnya amat sangat banyak, 1 sampai 3 milyar orang, dan bagian terbesar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Seandainya dulu Yesus faktual bisa memberi makan sampai kenyang 5000 orang laki-laki dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, seharusnya sekarang juga Dia atau gereja-Nya bisa melakukan hal serupa.
Tetapi patut sangat disesalkan, di tengah kenyataan kemiskinan dan kelaparan global yang dahsyat ini, 5000 ketul roti malah sekarang ini celakanya dihabiskan hanya oleh 5 orang dewasa Kristen berperut buncit bersama 2 anak mereka yang masih kecil yang terkena obesitas. Kenyataan bahwa orang Kristen sangat serakah tentu saja akan membuat banyak orang tidak bisa percaya sama sekali kalau dulu Yesus Kristus betul-betul pernah memberi makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan!
Bagaimana sekarang ini orang banyak bisa percaya sementara ada sekian gereja sanggup menghabiskan dana ratusan milyar bahkan sampai trilyunan rupiah hanya untuk membangun gedung-gedung gereja supermegah, sementara kemiskinan dan kelaparan masih diderita oleh sangat banyak orang Indonesia? Bagaimana mungkin kita membicarakan tentang perayaan Natal yang penuh hikmat ketika dilaksanakan dalam bentuk perayaan yang serba wah, sementara orang – orang disekeliling gereja kita (yang mungkin saja salah satu warga jemaat kita), tidak mampu memikirkan apa yang akan dimakan esok? Bagaimana mungkin kita berbicara bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan masuk surga, satu-satunya orang yang bisa mengenyangkan 5000 orang laki-laki dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan kecil?
Tulisan ini bukan keluar dari goa kebosanan, tetapi dari danau kasih sayang yang berperahukan keprihatinan, datang menghampiri dermaga pembaca yang penuh jala dan kali yang tidak terpasang. Melalui catatan singkat ini penulis mencoba mengarahkan kita untuk kembali pada hakikat kita sebagai umat Kristen, orang – orang yang meyakini Yesus sebagai Juru Selamat untuk lebih peka terhadap masalah – masalah sosial yang senantiasa terjadi disekeliling kehidupan kita. Suatu pola yang mendasarkan iman pada kelahiran Yesus yang diawali dengan kederhanaan, namun bermuara pada keteladanan dalam sikap hidup-Nya. Pada akhirnya penulis ingin menyampaikan kepada kita semua : “Selamat Merayakan Natal 25 Desember 2010 dan Menyambut Tahun Baru 1 Januari 2011”. Kiranya Yesus Kristus Sang Kepala Gereja memberkati. Syalom!

Senin, 01 Maret 2010

Puisi Dalam Teologi Pembebasan

Ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi seolah terdakwa untuk menggugatnya. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah, puisi juga turut merekamnya.

Puisi sebagai sebuah karya, mempunyai kaitan erat antara penyair dan latar belakang penciptaannya, seperti aliran, filsafat, dan latar belakang sosial budaya pada zaman penciptannya. Hal-hal tersebut mewarnai puisi-puisi yang diciptakan oleh si penyair itu sendiri. Puisi tidaklah lahir dari kekosongan budaya, melainkan dalam konteks sosial dan realitas di zamannya.

Sebut saja seperti puisi-puisi yang diciptakan pada zaman pergerakan pembebasan di Asia. Puisi seolah menjadi pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu, seperti: teologi Minjung di Korea, teologi perjuangan umat kristiani di Filipina, dan teologi Dalit di India.

Dalam teologi Minjung, seorang penyair yang juga pegawai kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya merekam dan menggugat kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang bangkit saat itu. Ia malah rela menerima kekerasan terhadap dirinya dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.

Dalam puisinya ia menulis, //Saya aka suka rela menerima hukuman apa pun/ yang akan saya sandang/ akan lebih mudah bagi saya mati kelaparan/ di antara lubang batu karang/ dari pada melihat rakyat mati tanpa suara//.

Yulogk lewat puisi yang dikirim kepada rajanya itu, menggugat kebijakan sang raja yang memberlakukan tarif pajak terlalu tinggi, sementara rakyat terus hidup dalam kemiskinan.

Begitu juga dengan perjuangan umat Kristiani di Filipina pada awal 1980-an dalam revolusi EDSA yang menumbangkan pemerintahan diktator Ferdinan Marcos, juga melahirkan puisi-puisi miris tentang kegetiran hidup rakyat dalam revolusi tersebut. Puisi-puisi protes yang muncul seolah menjelma menjadi nyanian-nyanyian, mazmur-mazmur yang menggambarkan sejarah yang berlangsung saat itu.

Salah satu puisi yang kerap didendangkan rakyat Filipina sebagai mazmur itu adalah: //Aku tidak takut akan hantu/ tidak pula meratapi pembunuhan keji/ tanpa tempat istirahat yang layak// Tidak jadi soal kalau anak-anakku/ istriku, kawan-kawanku, dan kerabatku/ tidak melihat aku menghembus nafas terakhir/ sebab mereka tahu bentuk kematian/ rencana jahat orang-orang berkuasa/ yang menunggu mereka yang berjuang/ agar keadilan ilahi merajai di negeri ini//.

Penyair Detrich melalui puisinya juga merekam sejarah perjuangan emansipasi wanita di negara tersebut. Lewat puisi, Detrich berusaha melepaskan kaum perempuan dari dominasi kaum pria yang dianggapnya menjadi “mesin” penggilas kebebasan perempuan Filipina. //Kamulah (kaum pria-red) yang telah menciptakan/ mesin-mesin bagi penyebar maut/ untuk setiap orang di bumi//.

Sejarah kesusastraan dalit kontremporer India juga mencatat Gibrielle Dietrich, Waman Numborka, E V Rames Periyal, Bhimrao Ambedkar, Arun Kamble. Mereka adalah para penyair yang dalam puisinya menggambarkan tentang pengorbanan, penderitaan, dan pertumpahan darah untuk menggapai kebebasan dari sebuah penindasan.

Hal itu sebagaimana ditulis kembali oleh See Eleanor Zelliot dalam buku Maleikal, sebagai salah satu bahan untuk mengungkap wajah kekerasan di India. Zelliot tergerak untuk menganalisa kembali empati para penyair dalam merekam kekerasan lewat puisi-puisinya. Nimbhorka menulis, //Bila aku tak tahu apa apa/ aku tahu kastaku dihina// Patil menendang ayahku/ menyerapahi ibuku/ bahkan mereka tidak mengangkat kepala//.

Hal yang sama juga ditulis penyair EV Rames Periyal dan Bhimrao Ambedkar. Kedua penyair ini melalui karyanya meningalkan catatan sejarah bahwa puisi juga merupakan pemecik api gerakan melawan diskriminasi sosial.

Puisi-puisi gugatan sosial itu penuh dengan kemirisan. Kemirisan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial. Lagi-lagi puisi dinobatkan sebagai bagian dari rekaman sejarah. Dalam buku Political Consideration Upon Revined Politic and The Master Strokes of State, Gabriel Neude (1711) menggambarkan salah satu bait yang bernada miris tersebut:

//Kilat menyambar sebelum suara terdengar/ doa diucapkan sebelum lonceng dibunyikan/ rakyat menderita tanpa mengharap penderitaan/ dan mati sementara meyangka akan tetap hidup/ semua terjadi dalam gelap/ dalam topan dan kekecauan//.

Sementara itu penentangan yang dilakukan oleh Mahadeviakka sangat unik dan bersikap profetis dan kontra kultural, yang mengangkangi norma-norma. Bahkan kaum perempuan India sendiri merasa malu dengan cara penentangan tersebut. Mahadeviakka mengembara telanjang bulat. Tubuhnya hanya ditutupi dengan rambutnya yang panjang. Dalam pengembaraannya itu, ratusan puisi lahir merekam realitas dalam usaha menggapai perubahan dari apa yang ditentangnya.

Kamis, 18 Februari 2010

Yesus dan Domba Hitam

Orang Kristen memandang Yesus sebagai sang gembala yang baik, yang telah menyerahkan dirinya bagi keselamatan domba-dombanya. Dalam Yohanes 10:11, Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (bdk ayat 15). Anggapan bahwa Yesus adalah sang gembala yang baik sering membuat orang dengan keliru memandang sang gembala dalam perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Lukas 15:1-7) adalah diri Yesus sendiri. Padahal dalam pandangan Yesus sendiri, sang gembala yang mencari seekor dombanya yang telah hilang ini adalah Allah, bukan dirinya. Dirinya hanyalah seorang pencerita tentang Allah yang sedang memerintah Israel sekarang.

Kebanyakan orang Kristen berpandangan bahwa Yesus betul-betul seorang gembala yang baik pada masa kehidupannya dulu, yang memiliki banyak domba. Padahal pekerjaan Yesus yang sebenarnya adalah tukang kayu (Yunani: tektōn), seperti dicatat dalam Markus 6:3 dan Matius 13:55. Jadi, sebetulnya gambaran tentang Yesus sebagai sang gembala yang baik adalah sebuah metafora, sebuah perumpamaan, sebuah ibarat. Bahkan Yesus sendiri memakai sebuah metafora ketika dia berkata, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24): domba-domba di sini bukanlah hewan domba betulan, melainkan bagian dari umat Israel yang tersingkir ke pinggiran masyarakat karena sistem klasifikasi masyarakat yang diterapkan para penguasa Yahudi zamannya.

Karena sifat metaforisnya, penulis Injil Yohanes bahkan dapat mengubah Yesus dari sebagai “sang gembala yang baik” (Yohanes 10:11) menjadi “sang anak domba Allah” yang dikorbankan untuk menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29). Ini adalah suatu pergeseran besar dalam metafora yang digunakannya. Dalam realita, memang itulah yang terjadi: semula Yesus adalah sang pemimpin (=sang gembala) tidak resmi masyarakat Yahudi di Galilea; tetapi kemudian dia menjadi korban (=domba yang disembelih) sistem perpolitikan yang dijalankan para penguasa Roma dan penguasa Yahudi zamannya.

Karena dipersepsi sebagai sang gembala yang baik, gambar Yesus memeluk seekor anak domba berbulu putih lazim ditemukan di mana-mana. Di sekolah. Di ruang belajar Anda. Di ruang tamu rumah Anda. Tetapi bagaimana dengan gambar di bawah ini, gambar Yesus sedang memeluk seekor domba hitam?

Gambar Yesus merangkul seekor domba hitam sangat tidak biasa, bahkan Anda mungkin baru melihatnya sekarang. Tidak ada satu catatan pun dalam Perjanjian Baru yang menggambarkan Yesus menyelamatkan seekor domba hitam. Ada satu catatan dalam Injil Yohanes yang memuat ucapan Yesus tentang “domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini” (Yohanes 10:16). Tetapi yang dimaksudkannya di sini bukanlah domba-domba hitam, melainkan domba-domba “dari kandang yang lain.”

Domba hitam (black sheep) tentu adalah seekor domba yang berbulu hitam, seperti tampak pada gambar di atas. Tetapi “black sheep” juga dipahami sebagai sebuah metafora atau sebuah ibarat untuk seseorang yang oleh kelompoknya dipandang negatif sebagai orang yang telah gagal memenuhi harapan kelompok, atau sebagai seseorang yang dipandang telah mempermalukan kelompoknya sehingga telah kehilangan harganya di mata kelompok. Ini bisa terjadi misalnya karena orang ini telah pindah agama sehingga oleh kelompoknya semula dianggap sebagai orang yang telah gagal dan telah mempermalukan kelompoknya. Atau karena orang ini kawin dengan orang yang tidak seagama sehingga tidak mendapatkan restu dari kelompoknya semula dan dianggap sebagai orang yang terhilang. Atau karena orang ini telah membelot, masuk ke negeri musuh dan berperang untuk kepentingan musuh.

Si pelukis gambar hendak menyampaikan pesannya, bahwa Yesus Kristus tetap mengasihi, menjaga, memelihara dan mencari orang-orang semacam itu. Hal ini bertolakbelakang dengan apa yang umumnya dipraktikkan gereja, yakni ingin mengeluarkan anggota-anggotanya yang dipandang telah mempermalukan komunitasnya.