Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Kamis, 05 November 2009

Kasih Menembus Batas Namun Tidak Merusak Sistem


Sejak beberapa tahun belakangan ini di Indonesia selalu didengungkan tentang kebebasan berdemokrasi, setelah beberapa tahun melewati masa orde baru yang penuh pengekangan dan ketertutupan. Hampir dalam setiap aspek kehidupan, manusia selalu menuntut haknya untuk bebas. Terlepas dari apakah itu kebebasan bertanggungjawab atau tidak, yang terutama dan terpenting adalah bisa bebas. Nah, yang lebih uniknya lagi pola kebebasan yang tanpa aturan yang jelas atau masih abu – abu ini berimbas pula pada sistem kehidupan beriman dan berjemaat, khususnya kalangan masyarakat Kristen. Pola kehidupan manusia sekarang sudah merusak sistem atau tatanan ‘demokrasi’ yang telah dicetuskan oleh Tuhan sejak awal penciptaan manusia. Kebebasan yang telah diejawantahkan kepada manusia dari dulu kini berubah orientasi menjadi kudeta perebutan kekuasaan secara masif oleh manusia yang ditunggangi hasrat hati dan pikiran untuk mencapainya yang didukung pula oleh konspirasi sang Iblis sebagai ‘oknum pelaku intelektualnya’. Masih hangat tentu diingatan kita bagaimana manusia yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan (baca: Adam dan Hawa) yang diceritakan oleh Kitab Kejadian mencoba menyamakan dirinya dengan Tuhan bahkan yang lebih parahnya lagi mereka mencoba menggantikan Otoritas Tuhan melalui konspirasi dengan si Iblis dengan cara memakan buah pengetahuan yang secara tegas dilarang oleh Tuhan untuk dimakan sejak awal mereka ditempatkan di Taman Eden. Peristiwa singkat ini cukup mengindikasikan kepada kita bahwa pada mulanya manusia itu sudah memiliki hasrat untuk memiliki ‘segala sesuatunya’ termasuk juga ‘kekuasaan yang tak terkira’ yakni dengan menembus tembok yang sudah diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan dapat merebut otoritas Tuhan tersebut. Manusia lebih berupaya menjadi sama dengan Tuhan dari pada menjadi manusia yang sesungguhnya.
Dalam kehidupan nyata pun pola seperti ini semakin gencar – gencarnya diwujudkan oleh manusia. Manusia pada masa sekarang jauh lebih suka menghakimi (sebagai orang yang berdosa) sesamanya manusia ketika terjatuh dalam keterpurukan daripada mencoba membantu orang tersebut untuk bangkit dari keterpurukannya. Lebih ironisnya lagi adalah masih bertumbuhkembangnya paham – paham dehumanisasi, dimana sesama manusia jauh lebih tertarik mendirikan tembok – tembok setinggi langit daripada membangun jembatan. Coba saja kita lihat rumah orang yang keadaan ekonominya cukup berada, pasti akan membangun tembok rumahnya setinggi yang ia inginkan tanpa peduli dengan tetangga yang ada disebelah rumahnya, apakah terganggu dengan keberadaan tembok rumahnya. Hal – hal sederhana seperti ini, jika kita hayati secara hakiki memperlihatkan siapa kita sesungguhnya. Apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan akan terpola dalam keseharian hidup kita. Tanpa kita sadari oleh adanya kekuasaan, fasilitas dan kenyamanan kita melupakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita kepada Tuhan, Manusia dan mahkluk hidup lainnya. Orientasi manusia yang tadinya menjadi tulang rusuk bagi sesamanya berubah menjadi serigala yang mencari rusuk sesamanya untuk dimakan. Manusia yang diberi hak oleh Tuhan untuk memelihara lingkungan ini berubah menjadi drakula yang selalu haus akan darah, dimana ia berpikir hanya untuk mengekspliotasi lingkungan hidup (baik itu lingkungan flora maupun lingkungan fauna) tanpa berpikir bagaimana membudidayakan sebagaimana mestinya. Belum lagi dengan keberadaan panggung politik yang menganggap kepemimpinan itu sebagai kuasa bukan sebagai amanah atau pun pelayanan. Hampir dalam setiap ornamen pola ini sudah tertanam dan berakar dalam diri manusia dan hal tersebut berlaku turun – temurun. Setiap orang menganggap bahwa ketika ia telah memimpin sesuatu organisasi maka ia harus berkuasa atas setiap orang anggotanya.
Melalui sajian singkat ini satu hal yang hendak kita capai adalah bagaimana kita sebagai manusia bisa memperbaiki tembok pemisah antara Tuhan dan manusia serta sekaligus juga menembus tembok pemisah antara sesama manusia. Solusi konkretnya hanya satu yakni penerapan Kasih yang sesuai dengan porsinya. Kata Kasih adalah kata sederhana yang sering diucapkan setiap orang namun begitu sulit pula untuk dilakukan secara nyata. Sama seperti pepatah bijak mengatakan “semakin sederhana kata tersebut, semakin susah pula untuk dipahami apalagi untuk dilakukan”. Terkadang paradigma tentang kasih yang tidak benarlah yang membuatnya segala sesuatunya timpang. Kasih haruslah dipandang sebagai pisau bermata dua, dimana terkadang ia berfungsi sebagai pendidik dan terkadang ia berfungsi sebagai hukum. Dalam bahasa filsafatnya dikatakan kasih tanpa hukum adalah kesia-siaan, namun hukum tanpa kasih adalah kesewenang – wenangan. Sama halnya ketika Tuhan menyatakan kasih-Nya kepada manusia, Tuhan memberikan aturan yang jelas (patron) tentang prinsip kasih yang akan diterapkan-Nya kepada manusia demikian pula sebaliknya. Ketika Tuhan mengorbankan diri-Nya untuk manusia berdosa sebagai wujud kasih-Nya, maka pada saat itu pula Tuhan meminta kita untuk setia akan komitmen untuk menerima Tuhan. Namun Tuhan tidak saja melulu meminta manusia itu untuk setia, namun Tuhan memberikan pengajaran yang jelas tentang apa itu setia dan bagaimana menerapkannya.
Demokrasi adalah salah satu wujud kasih Tuhan kepada manusia. Sebenarnya melalui kebebasan yang telah diberikan itu, Tuhan mengharapkan adanya umpan balik, yakni melalui tanggung jawab. Seorang manusia sejati itu harus mampu mempertanggungjawabkan kebebasan yang telah ia terima. Secara mendasar Tuhan memang memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir, bertindak dan berlaku, namun bukan kebebasan yang dalam artian tanpa terkendali sampai – sampai berpikir untuk menyingkirkan Tuhan dari konsep berpikir dan dalam kehidupan nyata. Benar memang bahwa manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk menguasai alam semesta, namun bukan sebagai Mahakuasa. Manusia diberikan Tuhan akal dan pikiran untuk mengetahui segala sesuatunya, namun bukan dalam artian Mahatahu. Sepatutnyalah sebagai manusia sejati yang menyatakan benar – benar mengasihi Tuhan haruslah memegang prinsip “janganlah kamu memikirkan hal – hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan”. Manusia sejati cukup hanya memikirkan bagaimana menembus tembok yang telah ia bangun terhadap sesamanya dan mengubahnya menjadi sebuah jembatan. Dan manusia sejati adalah manusia yang berpikir untuk semakin dekat dengan Tuhan, tanpa harus menghilangkan sekat – sekat yang telah ada sebelumnya. Ibarat tetangga dalam satu kompleks yang dapat membina hubungan komunikasi bahkan persaudaraan antara satu sama lain tanpa harus merobohkan tembok – tembok rumahnya yang sudah tercipta sejak semula.