Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 21 Agustus 2012

Mematahkan Kekerasan (Agama) dengan Cinta : Perspektif Rene Girard

I. Pendahuluan Kekerasan adalah fenomena yang menyelimuti dan merasuki dunia dewasa ini. Ia (kekerasan) ada dimana-mana. Seperti hantu, kekerasan itu maya sekaligus nyata. Maya, sebab kekerasan menembusi segala ruang dan waktu. Nyata, karena kekerasan itu riil. Kekerasan selalu kita jumpai dan rasakan; di pasar-pasar, di jalanan, bahkan dalam ruang-ruang pribadi, kekerasan pun menampakkan wajah destruktifnya yang mempesona dan sekaligus menjijikkan. Budi Hardiman menulis, ada mistik di dalam jantung hati teror (baca : Kekerasan). Di dalam mistik itu, lanjut Budi Hardiman, kematian telah kehilangan cirinya yang menakutkan dan menjelma menjadi sebuah sarana untuk suatu tujuan suci. Di sini kekerasan tampil mempesonakan manusia dan menampakkan diri sebagai aura spiritual sebuah ibadah. Namun serentak dengan itu kekerasan tetap juga menggelisahkan manusia, sebab kekerasan mewujud sebagai kekuatan penghancur yang menuntun kepada kematian, sesuatu yang sangat ditakuti oleh manusia. Karena ketakutannya itu, manusia hendak menghindarkan diri dari kekerasan. Akan tetapi, karena sedemikian kuat dan hegemoniknya, kekerasan membuat manusia seakan-akan tidak bisa lari darinya. Semakin orang berlari menjauh dari kekerasan, semakin dekat pula orang kepadanya. Gerak menghindar justru menegaskan kekerasan itu sendiri. Di sini manusia lantas terjebak dan dibelenggu oleh rantai kekerasan. Lalu, bagaimana lingkaran setan ini dihancurkan?? Untuk mematahkan dan menghancurkan kekerasan, manusia perlu mengenali wataknya: kondisi apa yang melatari munculnya kekerasan itu, bagaimana proses kerjanya sehingga ia tampak laksana hantu yang ingin ditolak tapi tertolak. Hanya dengan pengenalan itulah manusia baru bisa melucuti selubung palsu kekerasan dan menghancurkannya. Namun, ketika kita sudah mengenali wataknya yang destruktif dengan kekuatan, apa kita akan mematahkan kuasa kekerasan itu? Lewat tulisan ini penulis ingin mengajak kita untuk menyelami ”lautan” kuasa kekerasan sampi ke radixnya bersama Rene Girard. Dari situ, kita baru akan membahas cinta, satu-satunya kekuatan yang menurut Girard mampu menelanjangi kekerasan dan mencampakkannya ke dalam neraka kezaliman. Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membahas hal itu, baiklah kita mengenali dahulu Rene Girard, sahabat seperjalanan yang akan menunjukkan jalan-jalan labirin kekerasan serta cara cerdas untuk keluar dari labirin itu. II. Sekilas Tentang Rene Girard Girard adalah seorang pemikir besar akhir abad ke-20 yang masih hidup sampai hari ini. Ia dilahirkan pada 25 Desember 1923 dan tumbuh sebagai seseorang yang awalnya tidak menaruh minat besar dalam kehidupan keagamaan, walaupun ibunya adalah seorang Katolik yang taat. Di masa mudanya, ia malah aktif sebagai seorang pemikir yang kekiri-kirian. Ia belajar sejarah abad pertengahan dan menulis disertasi berjudul Private life in Avignon in The Second Half of The Fifteenth Century (1947). Gelar Doktornya yang kedua ia selesaikan di Indiana University, dan kemudian menjadi guru besar sastra di John Hopkins University, Baltimore, tahun 1961 – 1968. minatnya kepada agama dan teologi baru ia tunjukkan pada perayaan paskah tahun 1959 bersamaan dengan “perobatannya” setelah ia menulis buku pertama tentang lima novelis besar dunia : Cervantes, Flaubert, Stendhal, Proust, dan Dostojevski. Pada tahun 1968 samapai masa purna tugasnya tahun 1995, Girard menjadi guru besar bahasa, sastra, dan kebudayaan Perancis di Stanford Univbersity, California. Di sini Girard menemukan tempat yang terhormat untuk mengembangkan diri dan profesinya. Sampai sekarang Girard hidup di Stanford bersama Martha, istrinya dan triga orang anaknya serta beberapa cucu mereka. Saat ini Girard banyak dikenal dan mempengaruhi banyak kalangan, terutama melalui teori kambing hitamnya. Teori ini lahir dari petualangan intelektual Girard yang mencerminkan keluasan wawasannya sebagai seorang pemikir. Lewat pembacaannya yang kritis terhadap karya-karya para novelis, serta kepakarannya dalam bidang etnologi, antropologi, psikologi, mitologi, teologi dan sastra, lahirlah teori tersebut (kambing hitam). Dalam penjelajahan intelektualnya itu, ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua disiplin ilmu yang diselidikinya itu tidak bisa dibaca secara intrumentalis, tetapi sebagai sumber yang “mewahyukan” kebenaran-kebenaran tentang masyarakat. Salah satu kebenaran itu adalah bertakhtanya rivalitas tiada hentinya dalam masyarakat, yang sewaktu-waktu bisa menyulut kekerasan. Karena itu masyarakat, juga agama, harus terus menerus mengatur, menangani dan menyalurkan kekerasan itu. Sedemikian rupa kekerasan itu mengawali, menyusup, dan mewarnai baik masyarakat maupun agama, sampai bisa dikesankan, terjadinya masyarakat dan agama adalah karena kekerasan. Dari situ Girard kemudian menelurkan tesisnya yang profetik “akan datang saatnya agama tidak lagi mampu meredam kekerasan”. III. Rene Girard dan Enigma Kekerasan (Agama) Tesis Girard yang abru saja penulis kutip di atas, “akan datang saatnya agama tidak lagi mampu meredam kekerasan”, kini semakin menunjukkan tanda-tanda profetisnya. Artinya, tesis itu benar-benar meramalkan kebenaran yang sekarang betul-betul menjadi kenyataan. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi, bahkan wajah masifnya tampak dengan begitu telanjang. Dalam skala internasional, dunia dikejutkan oleh peristiwa 11 September yang mematikan banyak orang dan menyisakan trauma yang mendalam. Manusia-manusia yang mati dalam kesia-siaan ini menjadi korban atau dikorbankan untuk sebuah kepentingan. Para teroris yang menyerang Twin Towers dan Pentagon. IV. Mematahkan Kekerasan (Agama) dengan Cinta Dari penjelasan di atas, paling tidak kita sudah punya pemahaman tentang alasan fundamental timbulnya kekerasan. Bahkan, bersama Girard kita telah berjalan melewati labirin kekerasan yang seakan tiada akhir. Perjalanan ini merupakan sebuah pengalaman yang mencemaskan; pengalaman, meminjam bahasa Heidegger, keterlemparan atau keterhempasan ke dalam ketiadaan (Nicht). Tapi benarkah kekerasan itu tidak dapat dipatahkan? Walaupun Girard sendiri agak pesimis dengan hal ini, namun interpretasi teologis Girard di seputar kematian Yesus patut untuk kita renungkan. Barangkali interpretasi itu akan memberikan secercah harapan bagi kita untuk meraih kemungkinan-kemungkinan dalam pengalaman keterlemparan yang mencemaskan ini. Jika kita mengikuti logika kambing hitam seperti yang diuraikan di atas, maka kematian Yesus dapat digolongkan sebagai sebuah pengkambing-hitaman. Semua orang bangkit melawan Yesus, semua pihak yang terlibat akhirnya sepakat melawan dan mengorbankan Yesus. Mereka adalah massa rakyat biasa di Yerusalem, penguasa agama Yahudi, penguasa Pemerintah Romawi, bahkan para murid, yang kendati tidak mengkhianati Yesus, tetapi secara pasif ikut dalam persetujuan unanim melawan Yesus. Dia yang dahulu disanjung kini dinista. Dia yang tidak bersalah dijadikan sebagai korban, kambing hitam. Namun menurut Girard, kematian Yesus tidak bisa disejajarkan dengan mekanisme pengurbanan yang umum yang terdapat dalam agama-agama. Dalam ritus korban yang umum, orang yang dikorbankan itu adalah bersalah atau dianggap salah. Karena itu, pembunuhan terhadapnya dianggap benar dan adil. Sebaliknya Injil mengatakan dan membuka dengan terang-terangan, bahwa Yesus, si korban itu, sungguh tidak bersalah. Untuk itu kiranya kekristenan kembali kepada kebenaran Injil: ”Yesus tidak pernah menyediakan diri sebagai kambing hitam, tetapi Ia ternyata menjadi kambing hitam atau dijadikan kambing hitam, justru karena Ia membuka mekanisme kambing hitam itu. Yesus mau tidak mau harus menjadi, bukan karena Ia mau menjadi kambing hitam, tetapi karena Ia mau membuka apa yang menjadi rahasia sejak dunia diciptakan, yakni mekanisme kekerasan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Injil itu subversif terhadap visi korbani, yang mendasari lahirnya agama-agama. Menurut Girard, jika ada orang yang memahami kematian Yesus sebagai sebuah kisah korbani, maka orang itu tidak mampu memahami kekerasannya sendiri, bahkan ketika kekerasan itu dihadirkan dengan senyata-nyatanya. Jelas, kematian Yesus bukan korbani sifatnya. Yesus mati bukan sebagai korban, tetapi agar tiada korban lagi. Dalam Dia, genaplah sabda Tuhan : Bukan korban, tetapi belas kasih yang Kuingini”. Sabda ini bukannya tanpa akibat. Artinya, jika sabda ini tidak diikuti, praktek korban dan kekerasan tetap dijalankan. Tidak bisa tidak, kekerasan itu akan meminta korban, dan satu-satunya korban adalah satu-satunya orang yang tidak terkenai wabah kekerasan, dan yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri: Dia adalah Yesus, pribadi yang mampu mencinta dengan sepenuh-penuhnya. Kematian-Nya adalah konsekuensi tanpa ampun terhadap sikap-Nya yang berkata tidak terhadap kekerasan. Dan akhirnya, kematian Yesus pun menelanjangi realitas kekerasan, melucuti dan mencampakkannya, sebab kekerasan hanya bisa ”dijebak” untuk mengakui bahwa dirinya adalah kekerasan, jika Ia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak berlepotan dengan kekerasan dan dipenuhi dengan cinta. Cinta-Nya yang tulus, yang membawanya ke dalam ketiadaan, telah membuat Ia ada. Aku mencinta maka Aku ada. Maukah aku dan engkau meng-ada??? Jika mau, mencintalah!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar