Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 21 Agustus 2012

Memaknai Kasih Tidak Bersyarat Dalam Hubungan Bersyarat

Suatu ketika dalam jejaring social saya pernah mengajukan pertanyaan yang isinya seperti ini : “Apakah kita takut kepada Tuhan agar mendapatkan berkat atau karena kita sudah mendapat berkat makanya kita takut kepada Tuhan?”. Pertanyaan ini terlintas dalam benak saya bukan dalam rangka menguji pengetahuan setiap orang yang akan menjawab tersebut, namun pertanyaan ini muncul dalam upaya saya ingin mencoba memahami pemahaman setiap orang akan arti kemerdekaan (kehendak bebas) sesungguh yang selama ini telah Tuhan berikan dan percayakan kepada kita umat manusia. Dalam teks khotbah beberapa minggu belakangan ini cukup sering mencuat kepermukaan teks-teks yang memberi penekanan akan hubungan antara Tuhan dan manusia yang digambarkan dalam bentuk hubungan antara orang tua dan anak. Suatu bentuk hubungan yang paling sederhana namun sarat dengan filosofi yang mendalam. Dan dari latar belakang bentuk hubungan inilah kita akan mencoba mengulas pertanyaan yang telah saya ajukan tadi dan memahami akan arti kemerdekaan. Sesungguhnya hal yang tidak bisa ditolak dalam hidup ini adalah ketika seseorang terlahir sebagai seorang anak dan memiliki orang tua. Dan orang tua tidak dapat menghalangi kehadiran seorang anak di dalam kehidupan keluarga mereka. Memiliki orang tua adalah anugerah demikian pula sebaliknya. Seorang anak lahir ke tengah-tengah dunia ini sebagai usaha kasih dari kedua orangtuanya. Seorang anak mungkin tidak akan menemukan jawaban ketika ia bertanya kepada orangtuanya mengapa ia dilahirkan. Dan orangtua mungkin tidak akan menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan mengapa ia mengasihi anaknya. Seorang anak hanya tahu satu hal didalam kehidupannya yaitu ia telah menerima berkat yang tidak bisa tergantikan oleh apapun ketika ia memiliki orang tua yang mengasihinya. Itulah yang disebut dengan kasih tidak bersyarat, yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan ketulusan hati. Suatu tindakan yang tidak menuntut balasan yang setimpal atas apa yang telah ia lakukan dan suatu tindakan yang tidak akan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Seorang anak tidak akan pernah bisa membalas kasih yang telah diberikan orangtuanya kepadanya, karena sudah barang tentu orangtuanya tidak mengingikannya. Dan filosofi inilah yang kita kenal dalam kehidupan bangsa kita dengan mengatakan “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan”. Seorang Tokoh Paulus mencoba melihat kerangka ini dalam gambaran hubungan antara Tuhan dan Manusia. Paulus melihat bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia adalah hubungan yang tidak terpisah, layaknya orangtua yang tidak terpisah dari anaknya. Pada dasarnya sifat takut Manusia terhadap Tuhan harus dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa manusia itu sudah terlebih dahulu menerima berkat dari Tuhan, yakni kasih itu sendiri. Maksudnya oleh karena kasih itulah manusia dimampukan untuk menjawab panggilan kasih itu melalui sikap takut dan hormat (respect) kepada Tuhan. Sama hal seperti seorang anak yang menghormati orangtuanya karena sudah terlebih dahulu menerima kasih dari orangtuanya. Sikap takut itulah yang akan menuntun seorang manusia pada pengenalan dan pemahaman akan siapa Tuhan yang sesungguhnya dan bagaimana ia berperan dalam kehidupan kita yang senantiasa membawa ke jalan yang benar (bnd. Ams.1:7). Karena apapun yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan manusia pada prinsipnya untuk kebaikan manusia itu sendiri dan sebagai upaya membentuk manusia itu sebagai manusia seutuhnya namun memancarkan karakter ketuhanan. Namun tanpa kita sadari seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan pemikiran terkadang kita melupakan jati diri kita sebagai anak dan mengubahnya menjadi hubungan antara seorang majikan dan hamba. Kita cenderung berpikir dan membiasakan diri bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang kita kerjakan semuanya harus mendapat upah atau balasan karena kita merasa bahwa apa yang kita lakukan bukan untuk kita melainkan untuk Tuhan semata, misalnya saja kalau kita sudah melakukan sesuatu yang menurut kita baik dihadapan Tuhan maka sudah selayaknyalah kita mendapat berkat dari Tuhan, baik melalui materi ataupun dengan pemenuhan segala sesuatu yang kita inginkan. Seolah-olah kita merasa bahwa kita terlahir di dunia ini hanya untuk memuaskan keinginan Tuhan dan untuk itulah kita diupah melalui berkat, satu pemahaman yang menganggap bahwa kita takut kepada Tuhan agar kita mendapat berkat dari-Nya. Dan acapkali pula kita beranggapan bahwa kemerdekaan itu adalah suatu kehendak bebas (kebebasan) untuk melakukan (atau tidak melakukan) kehendak Tuhan tersebut. Karena kita merasa diri kita sebagai hamba (orang upahan) maka kita hanya melakukan yang terbaik kepada majikan yang memberikan hal terbaik kepada kita. Kita merasa bebas melakukan apa saja dan bekerja pada siapa saja selama ia mampu menjamin pemenuhan segala keinginan sesaat kita dalam kehidupan ini. Ya, suatu kebebasan dan kemerdekaan yang dilahirkan oleh karena adanya jaminan akan pemenuhan keinginan sesaat. Dan paradigma seperti itulah yang sedang merongrong keimanan kita pada saat ini, suatu pemahaman yang meletakkan dasar keimanan pada jaminan pemenuhan keinginan sesaat bukan pada janji Tuhan. Salah satu contoh konkrit yang nyata dalam kehidupan kita berbangsa adalah suatu sikap yang menyatakan bahwa kebenaran itu ada pada orang banyak (massa). Semakin banyak orang mendukung akan sesuatu hal, maka semakin besar pula adanya jaminan pemenuhan keinginan sesaat. Ibarat pemahaman dalam salah sistem ekonomi yang menyatakan: “dimana semakin banyak keinginan orang akan suatu produk/barang, maka semakin naik pula harga produk/barang tersebut”. Atau dalam istilah lain dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang mendukung suatu pendapat, maka semakin bernilailah pendapat itu dan semakin mendekati kebenaran. Dan setiap orang pun diberi kebebasan untuk menyampaikan suaranya, idenya atau gagasannya terlepas dari penilaian apakah suara, ide dan gagasannya itu lahir dari sebagai pemenuhan kehendak Tuhan untuk membangun manusia itu sendiri atau hanya sekedar pemenuhan keinginan sesaat saja, karena disitulah letak kemerdekaan seseorang. Merdeka untuk berpikir, merdeka untuk berkata dan merdeka untuk berbuat. Dan pada akhirnya kemerdekaan itu akan berubah menjadi kebenaran ketika ia didukung oleh sekelumit orang. “Vox Populi Vox Dei” merupakan slogan yang selalu didengungkan dalam arus reformasi dan demokrasi, baik dalam kehidupan pemerintahan dan masyarakat secara umum maupun dalam ruang lingkup gereja yang menyatakan dirinya sebagai gereja reformasi. Slogan ini selalu menjadi motto terdepan dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang menurut orang banyak tidak memihak kepentingan mereka. Dan slogan ini pulalah yang kerap dijadikan temeng untuk melakukan perubahan dalam segala hal, terlepas apakah perubahan itu membawa dampak baik atau tidak nantinya. Melalui slogan ini kita akan digiring pada pemahaman bahwa segala sesuatu ditentukan dan diputuskan oleh suara terbanyak, karena dari sanalah ada kebenaran itu. Belakangan ini kita kerap melihat usaha beberapa orang yang berusaha menggulingkan pemerintahan seorang pemimpin Negara melalui demonstrasi karena merasa kebijakannya tidak prorakyat. Dan mungkin juga kita sering melihat usaha para mahasiswa yang cukup sering turun ke jalan dalam sejumlah massa dengan berbagai ornament demonstrasinya menyerukan penolakan atas kebijakan pemerintah atas nama rakyat. Demikianlah proses ini tetap berlangsung sampai sekarang di Negara kita ini, dan inilah yang disebut dengan Reformasi. Peristiwa tersebut tidak hanya sekedar terjadi di Negara kita ini, namun sudah mulai bersahabat dalam lingkungan gereja saat ini. Tentu saja sebagai warga jemaat Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) yang peka kita sudah melihat perubahan besar yang terjadi dalam Synode Am XVII GKPA (Periodesasi) tahun 2011 mengenai sistem pemilihan Pucuk Pimpinan. Seperti yang kita tahu selama ini, bahwa sejak awal GKPA berdiri sudah memakai sistem kepemimpinan (organisasi gereja) Episcopal Sinodal, dimana keputusan akhir atas suatu pendapat berada ditangan “Episkopos (pelayan Tuhan)” yang dalam hal ini diwakilkan oleh para pendeta. Demikian pula halnya dengan sistem pemilihan Pucuk Pimpinan GKPA, seharusnya setiap calon harus berasal dari pemilihan pada rapat pendeta dan setiap nama calon harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh para anggota Rapat Pendeta. Namun sesuai keputusan para Synodestan pada Synode Am XVII GKPA (Periodesasi) yang mengatasnamakan keputusan terbanyak sebagai suara Tuhan diambillah keputusan bahwa setiap calon yang akan menjadi puncuk pimpinan dipilih secara langsung oleh para Synodestan dalam ruang persidangan secara terbuka. Mungkin bagi kita warga jemaat awam hal tersebut tidak terlalu berdampak besar dalam kehidupan kita berjemaat, namun satu hal yang perlu kita garisbawahi bahwa perubahan tersebut sudah mencatat sejarah baru dalam perjalanan arak-arakan GKPA kedepannya. Kalaulah saya boleh menggambarkan, menurut saya saat ini GKPA sedang diperhadapkan pada persimpangan jalan untuk menetukan arah dan tujuannya kembali. Satu situasi yang mencoba untuk berkontemplasi, apakah keputusan dalam Synode Am XVII GKPA Tahun 2011 merupakan kebenaran akan suara Tuhan? Sekedar perbandingan untuk kita, menurut kita apakah dapat dikatakan bahwa proses persidangan Yesus sampai ketika Ia dijatuhi hukuman mati dimasa lampau merupakan salah satu proses yang didasari oleh slogan “Vox Populi Vox Dei”? Apakah benar ketika sekerumun orang menginginkan kematian Yesus merupakan keterwakilan dari suara Tuhan? Apakah kebenaran (bnd. Yoh.8:40) yang disampaikan oleh seorang Yesus menjadi tidak benar karena ia harus berhadapan dengan suara terbanyak yang belum tentu benar secara mutlak? Nah untuk menemukan benang merah akan pergumulan tersebut ada baiknya mari kita coba untuk “back to the Bible” (meminjam istilah yang dipakai tokoh Reformasi Marthin Luther). Memakai kutipan teks Alkitab versi Terjemahan Baru dari Yohanes 8:32 dikatakan : “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Melalui teks ini kita boleh melihat bahwa kemerdekaan itu tidak hanya semata kebebasan untuk melakukan sesuatu dengan berlindung dibalik suara terbanyak atau suara rakyat namun ia harus didasari pula oleh kebenaran. Dengan demikianlah kita akan memahami “Vox Populi Vox Dei” yang sesungguhnya, dimana suara, ide serta gagasan akan menjadi suara Tuhan bukan hanya karena didukung oleh orang banyak namun karena ia mampu menyampaikan kebenaran dari Tuhan melalui keterwakilan orang-orang tersebut. Dan oleh itu diperlukanlah satu syarat yang mutlak bagi orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai keterwakilan Tuhan, yakni mengenal Tuhan itu sendiri secara pribadi dan bukan hanya sekedar pengakuan yang berasal dari kesaksian orang lain, atau dalam bahasa sederhananya diperlukan satu bentuk hubungan yang bersyarat antara manusia tersebut dengan Tuhan. Melalui teks ini kita mampu bercermin bahwa kemerdekaan (kehendak bebas) itu sesungguhnya bukanlah suatu usaha untuk melakukan segala sesuatu sesuai kemauan (jaminan pemenuhan keinginan sesaat) kita sendiri, tetapi suatu usaha untuk memaknai Kasih Tuhan yang telah dinyatakan kepada kita secara tidak bersyarat dan menjawabnya dalam satu hubungan bersyarat, yakni suatu hubungan yang didasari dan dibina oleh kedekatan emosional dalam kisah hidup sehingga memampukan kita mengenal suara Tuhan yang sebenarnya serta menyatakan kebenaranNya. Suatu kemerdekaan yang diikuti oleh rasa tanggung dan didukung oleh rasa takut serta hormat (respect) terhadap Tuhan Sang Empunya Kebenaran. Suatu rasa takut yang lahir untuk menjawab panggilan kasih setia Tuhan melalui pengenalan yang benar terhadap Tuhan itu sendiri, suatu paradigma yang meletakkan keimanan pada janji kasih setia Tuhan dan suatu pernyataan sikap yang memaknai kasih, berkat dan anugerah yang tidak bersyarat dalam hubungan bersyarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar