Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Jumat, 04 Desember 2009

Ride To Peace


Di antara sekian bidang kehidupan yang sangat dibutuhkan manusia, dalam hal ini dapat disebut tiga hal. Ketiganya dapat menjadi kekuatan konstruktif untuk kebaikan umat manusia, tetapi ketiganya juga dapat menjadi kekuatan destruktif jika dijalankan atas dasar pementingan diri sendiri atau komunitas sendiri.
Pertama, Agama. Ini memang sangat menyedihkan. Sebab, semua agama mengklaim memiliki ajaran sebagai landasn kuat bagi warganya untuk mewujudkan damai. Dengan kata lain, semua agama adalah agama damai. Tetapi ironisnya, banyak konflik bahkan perang yang terjadi justru disulut oleh kepentingan agama. Ketika komunitas agama tertentu terperosok ke fanatisme sempit keagamaan, maka yang terjadi adalah kecurigaan, permusuhan bahkan peperangan terhadap penganut agama lain. Selama manusia menganggap agama lebih penting dari manusia, maka damai merupakan sesuatu yang mustahil. Tetapi ketika setiap penganut agama dengan jernih melihat dan mengakui bahwa yang mempersatukan umat manusia jauh lebih baik dan manusia juga lebih penting ketimbang agama, maka perdamaian akan dapat diwujudkan.
Perbedaan agama adalah kenyataan yang harus diterima oleh setiap orang. Dalam menggambarkan agama – agama diseluruh dunia Mark Juergensmeyer menggunakan sebuah gambar peta yang menarik, dimana peta dunia diwarnai sesuai dengan keragaman agama dan wilayah tertentu. Peta ini hendak menyatakan bahwa identitas agama tidak pernah tersekat dalam satu wilayah. Hal ini semakin jelas jika dilihat dari fakta yang ada. Sebelum Pakistan berdiri, seperempat penduduk India adalah Muslim, bahkan saat ini 15% penduduk India beragama Islam. Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia adalah tempat agama Hindu di Bali, Budha dan Kristen. Hal yang sama terdapat di negara – negara lain juga. Atau dengan kata lain, hampir seluruhnya negara dihuni oleh penganut agama yang berbeda. Mengacu pada kenyataan ini, dibutuhkan kearifan dalam menjalani kehidupan dalam konteks kemajemukan negara.
Kedua, Ekonomi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kepentingan ekonomi merupakan salah satu sumber penderitaan bagi banyak orang. Dunia ini amat sarat dengan perlombaan tidak sehat demi pencapaian keinginan dangkal manusia sebagai pribadi, kelompok atau sebuah bangsa. Kemakmuran ekonomi sbagian kecil warga Bumi ini justru dibangun atas penderitaan jutaan orang karena struktur dan sistem ekonomi yang tidak adil. Akibanya muncul aneka kekekrasan sebagai wujud perlawanan terhadap ketidakadilan itu, meskipun perlawanan demikian bukanlah cara yang baik. Sebab kekejaman, tidaklah semestinya dilawan dengan kekejaman baru. Selama manusia dirasuki roh kerakusan materi, damai tidak akan pernah terwujud.
Kata “ekonomi” berasal dari kata Yunani oikos ( yang biasa diartikan dengan rumah, rumah tangga ). Artinya, dalam kata ekonomi sebenarnya terdapat muatan yang amat mulia yakni : persaudaraan, saling peduli, saling membantu sebagimana layaknya terjadi dalam sebuah keluarga. Dunia dan bangsa – bangsa membutuhkan sistem ekonomi yang dapat menjadi wahana yang mewujudkan perdamaian di dunia ini.
Ketiga, Politik. Tidak jarang terjadi bahwa permusuhan muncul dari perbedaan keyakinan politik yang biasanya menyatu dengan perebutan kekuasaan, baik dalam lingkungan suatu negara maupun dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mewujudkan damai, politik harus kembali pada esensinya. Secara harfiah, politik (Yunani : polis) diterjemahkan dengan “kota”. Tetapi polis menunjuk pada seni penataan kehidupan bersama yang baik, rukun dan damai. Karenanya, perjuangan sebuah partai politik, misalnya bukanlah untuk kepentingan sempit sebatas kepentingan partai itu sendiri, melainkan demi kebaikan bersama. Roh kerakusan kekuasaan dan pementingan kelompok sendiri merupakan musuh perdamaian yang harus disingkirkan juga secara damai.
Jika salah satu dari bidang kehidupan tersebut di atas memerankan potensi destruktifnya maka hal itu sudah dapat menciptakan kekacauan. Apalagi kalu ketiganya berpadu sedemikan rupa menjadi mega – potensi destruktif, maka dapat dibayangkan betapa kacaunya dunia ini. Kita membutuhkan ketiganya berpadu sedemian rupa menjadi potensi konstruktif, sehingga damai memenuhi dunia ini.
Nah, yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah dari mana damai itu harus dimulai? Apakah mungkain dunia damai dan antar komunitas damai kalau pribadi – pribadi di dalamnya tidak memiliki damai? Dalam hal ini, tidak ada keraguan bahwa damai dalam komunitas dunia, komunitas agama dan lain – lain serta damai antar – komunitas hanya bisa terwujud jika setiap orang benar – benar memiliki hati yang damai.
Bagi orang Kristen, damai bukanlah sesuatu yang dapat diproduksi oleh manusia. Damai adalah anugerah Tuhan. Yesus sendiri berfirman, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh. 14:27). Kita dapat memberian perhatian khusus pada kata “Kuberikan kepadamu” dan “tidak seperti yang diberikan dunia”. Dengan mengatakan “Kuberikan kepadamu”, Yesus hendak menegaskan bahwa damai yang sesungguhnya adalah anugerah-Nya dan hal itu benar – benar sudah Ia nyatakan dalam pelayanan-Nya. Selanjutnya, “tidak seperti yang diberikan dunia ini” hendak menyatakan kesempurnaan damai yang dianugerahkan-Nya yang benar – benar lain dari “damai” yang dipahami dan dipraktekkan dunia ini. Dunia biasanya menganut “damai jika”. Saya mau berdamai dengan engkau jika engkau melakukan ini dan itu. Komunitas kami mau berdamai dengan komunitas mereka jika mereka memenuhi syarat – syarat yang kami tentukan dan seterusnya.
Orang – orang Kristen – atas dasar damai Kristus – hendaknya menghidupi “damai meskipun”. Saya berdamai dengan engkau meskipun... Kata meskipun disini bisa diisi misalnya dengan “meskipun engkau membenci saya”, “meskipun engkau tidak seperti yang saya harapkan”, dan lain – lain.
Dalam kaitan itu, menyambut Kristus adalah sekaligus menyambut dan mewujudkan damai. Hal ini seturut dengan makna kedatangan Kristus ke dunia ini. Kita ingat misalnya seruan para malaikat dalam peristiwa kelahiran Yesus yang mengatakan, “Kemuliaan bagia Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di Buni diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14). Urutannya bukanlah secara kebetulan : Kemuliaan bagi Allah....damai di Bumi. Tidak boleh dibalikkan menjadi: ”Kemuliaan bagi manusia” dan “damai bagi Allah”. Namun kenyataannya justru pembalikan seperti inilah yang sering terjadi sehingga damai tidak kunjung sepenuhnya terwujud. Artinya, ketiak manusia merampas kkemuliaan Allah, maka damai tidak akan mungkin terjadi di dunia ini. Yang terjadi adalah justru persaingan, kekerasan, penindasan, dan sebagainya.
Kedamaian dan kebahagiaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pada zaman ini banyak orang menakar ‘kebahagiaan’ berdasarkan perolehan materi. Kebahagiaan dipahami sebagai pemenuhan hasrat hati dan keinginan. Itulah sebabnya zaman ini ditandai dengan hiruk pikik pencarian dan penumpikan harta duniawi. Tetapi apakah mereka bahagia? Apakah dengan harta melimpah membuat orang merasa damai? Dari berbagai survei yang telah dilakukan, ternyata kepemilikan materi bukanlah penetu tingkat kebahagiaan. Sejarah sudah memberi berbagai fakta yang manjadi bahan pelajaran dan perenungan bagi kita.
Yesus mengatakan, “berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak – anak Allah.” (Mat. 5:9). Kata yang digunakan adalah “membawa damai” tidak “menciptakan” damai. Hal ini sesuai dengan yang sudah disebutkan tadi bahwa manusia tidak menciptakan damai dari dirinya sendiri. Manusia menerima sebagai pemberian Tuhan yang sangat berharga. Manusia tidak tidak mungkin membawa apa yang tidak dimilikinya. Hal yang sama, manusia tidak dapat membawa damai jika ia tidak memiliki damai itu dalam dirinya sendiri. Dunia amat beruntung dengan kehadiran para pencinta damai dalam perjalanan sejarah dunia ini seperti Ibu Theresa, Marthin Luther King, Jr, Mahatma Gandhi, Brother Roger (Taize), Nelson Mandela dan lain – lain. Mereka adalah pembawa damai yang benar – benar memiliki damai dalam hidupnya.

Rabu, 02 Desember 2009

The Round Dance of the Cross


Kemuliaan bagimu, bapa.
Amin.
Kemuliaan bagimu, firman.
Kemuliaan bagimu, rakhmat.
Amin.
Kemuliaan bagimu, roh.
Kemuliaan bagimu, sang kudus.
Kemuliaan bagi kemuliaanmu.
Amin.
Kami puji engkau, bapa.
Kami bersyukur kepadamu, terang,
di dalammu tidak ada kegelapan.
Amin.
Aku nyatakan mengapa kami bersyukur:
aku akan diselamatkan
dan aku akan menyelamatkan.
Amin.
Aku akan dibebaskan
dan aku akan membebaskan.
Amin.
Aku akan dilukai dan aku akan melukai.
Amin.
Aku akan dilahirkan dan aku akan melahirkan.
Amin.
Aku akan memakan dan aku akan dimakan.
Amin.
Aku akan mendengar dan aku akan didengar.
Amin.
Aku akan diingat,
dan aku adalah ingatan yang murni.
Amin.
Aku akan dibasuh dan aku akan membasuh.
Amin.

Rakhmat berdansa.

Aku akan meniup seruling.
Marilah, setiap orang, berdansa.
Amin.
Aku akan meratap.
Setiap orang, merataplah.
Amin.
Kawasan delapan kidung bersama kita.
Amin.
Bilangan keduabelas berdansa di atas.
Amin.
Seluruh jagat berdansa bersama kita.
Amin.
Jika engkau tidak berdansa,
engkau tidak mengetahuinya.
Amin.
Aku akan lari jauh dan aku akan tetap di sini.
Amin.
Aku akan menghias dan aku akan dihias.
Amin.
Aku akan disatukan dan aku akan menyatukan.
Amin.
Aku tidak memiliki rumah
dan aku memiliki banyak rumah.
Amin.
Aku tidak bertempat tinggal
dan aku akan memiliki banyak tempat.
Amin.
Aku tidak memiliki bait
dan aku memiliki banyak bait.
Amin.
Aku adalah sebuah pelita bagimu yang melihatku.
Amin.
Aku adalah sebuah cermin bagimu yang mengenalku.
Amin.
Aku adalah sebuah pintu bagimu yang mengetukku.
Amin.
Akulah sebuah jalan bagimu, wahai musafir.
Amin.

Jika engkau mengikuti dansaku,
lihatlah dirimu ada di dalamku ketika aku berbicara.
Jika engkau sudah melihat apa yang kuperbuat,
simpanlah dalam hatimu apa yang menjadi misteriku.
Engkau yang menari,
pertimbangkanlah apa yang kulakukan.

Penderitaanmu adalah
penderitaan insani yang harus kutanggung.
Engkau tidak akan pernah memahami apa yang engkau derita
kecuali aku sang firman diutus kepadamu oleh sang bapa.
Engkau yang telah melihat apa yang kulakukan
telah melihat aku sebagai penderitaan,
dan pada saat engkau melihatnya,
engkau tidak kokoh berdiri
tetapi sangat tergoyangkan.
Engkau digoyangkan menuju hikmat,
dan engkau mendapat pertolonganku.

Rehatlah di dalamku.

Siapa aku, engkau akan tahu kalau aku pergi.
Apa yang sekarang terlihat pada diriku,
itu bukanlah aku yang sesungguhnya.
Siapa aku sebenarnya,
engkau akan lihat kalau engkau mau datang.

Seandainya engkau tahu bagaimana harus menderita
engkau akan dapat tidak menderita.
Belajarlah bagaimana menderita
maka engkau akan dapat tidak menderita.

Apa yang engkau tidak ketahui,
aku akan ajarkan kepadamu.

Akulah Allahmu,
bukan Allah si pengkhianat.

Aku mendambakan jiwa-jiwa yang suci
selaras dengan diriku.
Ketahuilah firman hikmat.

Katakanlah bersamaku,
Kemuliaan bagimu, bapa.
Kemuliaan bagimu, firman.
Kemuliaan bagimu, roh.
Amin.

Jika engkau ingin tahu siapa aku dahulu,
aku menertawakan segalanya dengan firman ini,
dan aku sama sekali tidak ditertawakan.

Aku melompat-lompat karena girang.
Pahamilah segala sesuatu,
dan ketika engkau telah memahaminya,
beritakanlah.
Kemuliaan bagimu, bapa.
Amin.

Kamis, 05 November 2009

Kasih Menembus Batas Namun Tidak Merusak Sistem


Sejak beberapa tahun belakangan ini di Indonesia selalu didengungkan tentang kebebasan berdemokrasi, setelah beberapa tahun melewati masa orde baru yang penuh pengekangan dan ketertutupan. Hampir dalam setiap aspek kehidupan, manusia selalu menuntut haknya untuk bebas. Terlepas dari apakah itu kebebasan bertanggungjawab atau tidak, yang terutama dan terpenting adalah bisa bebas. Nah, yang lebih uniknya lagi pola kebebasan yang tanpa aturan yang jelas atau masih abu – abu ini berimbas pula pada sistem kehidupan beriman dan berjemaat, khususnya kalangan masyarakat Kristen. Pola kehidupan manusia sekarang sudah merusak sistem atau tatanan ‘demokrasi’ yang telah dicetuskan oleh Tuhan sejak awal penciptaan manusia. Kebebasan yang telah diejawantahkan kepada manusia dari dulu kini berubah orientasi menjadi kudeta perebutan kekuasaan secara masif oleh manusia yang ditunggangi hasrat hati dan pikiran untuk mencapainya yang didukung pula oleh konspirasi sang Iblis sebagai ‘oknum pelaku intelektualnya’. Masih hangat tentu diingatan kita bagaimana manusia yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan (baca: Adam dan Hawa) yang diceritakan oleh Kitab Kejadian mencoba menyamakan dirinya dengan Tuhan bahkan yang lebih parahnya lagi mereka mencoba menggantikan Otoritas Tuhan melalui konspirasi dengan si Iblis dengan cara memakan buah pengetahuan yang secara tegas dilarang oleh Tuhan untuk dimakan sejak awal mereka ditempatkan di Taman Eden. Peristiwa singkat ini cukup mengindikasikan kepada kita bahwa pada mulanya manusia itu sudah memiliki hasrat untuk memiliki ‘segala sesuatunya’ termasuk juga ‘kekuasaan yang tak terkira’ yakni dengan menembus tembok yang sudah diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan dapat merebut otoritas Tuhan tersebut. Manusia lebih berupaya menjadi sama dengan Tuhan dari pada menjadi manusia yang sesungguhnya.
Dalam kehidupan nyata pun pola seperti ini semakin gencar – gencarnya diwujudkan oleh manusia. Manusia pada masa sekarang jauh lebih suka menghakimi (sebagai orang yang berdosa) sesamanya manusia ketika terjatuh dalam keterpurukan daripada mencoba membantu orang tersebut untuk bangkit dari keterpurukannya. Lebih ironisnya lagi adalah masih bertumbuhkembangnya paham – paham dehumanisasi, dimana sesama manusia jauh lebih tertarik mendirikan tembok – tembok setinggi langit daripada membangun jembatan. Coba saja kita lihat rumah orang yang keadaan ekonominya cukup berada, pasti akan membangun tembok rumahnya setinggi yang ia inginkan tanpa peduli dengan tetangga yang ada disebelah rumahnya, apakah terganggu dengan keberadaan tembok rumahnya. Hal – hal sederhana seperti ini, jika kita hayati secara hakiki memperlihatkan siapa kita sesungguhnya. Apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan akan terpola dalam keseharian hidup kita. Tanpa kita sadari oleh adanya kekuasaan, fasilitas dan kenyamanan kita melupakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita kepada Tuhan, Manusia dan mahkluk hidup lainnya. Orientasi manusia yang tadinya menjadi tulang rusuk bagi sesamanya berubah menjadi serigala yang mencari rusuk sesamanya untuk dimakan. Manusia yang diberi hak oleh Tuhan untuk memelihara lingkungan ini berubah menjadi drakula yang selalu haus akan darah, dimana ia berpikir hanya untuk mengekspliotasi lingkungan hidup (baik itu lingkungan flora maupun lingkungan fauna) tanpa berpikir bagaimana membudidayakan sebagaimana mestinya. Belum lagi dengan keberadaan panggung politik yang menganggap kepemimpinan itu sebagai kuasa bukan sebagai amanah atau pun pelayanan. Hampir dalam setiap ornamen pola ini sudah tertanam dan berakar dalam diri manusia dan hal tersebut berlaku turun – temurun. Setiap orang menganggap bahwa ketika ia telah memimpin sesuatu organisasi maka ia harus berkuasa atas setiap orang anggotanya.
Melalui sajian singkat ini satu hal yang hendak kita capai adalah bagaimana kita sebagai manusia bisa memperbaiki tembok pemisah antara Tuhan dan manusia serta sekaligus juga menembus tembok pemisah antara sesama manusia. Solusi konkretnya hanya satu yakni penerapan Kasih yang sesuai dengan porsinya. Kata Kasih adalah kata sederhana yang sering diucapkan setiap orang namun begitu sulit pula untuk dilakukan secara nyata. Sama seperti pepatah bijak mengatakan “semakin sederhana kata tersebut, semakin susah pula untuk dipahami apalagi untuk dilakukan”. Terkadang paradigma tentang kasih yang tidak benarlah yang membuatnya segala sesuatunya timpang. Kasih haruslah dipandang sebagai pisau bermata dua, dimana terkadang ia berfungsi sebagai pendidik dan terkadang ia berfungsi sebagai hukum. Dalam bahasa filsafatnya dikatakan kasih tanpa hukum adalah kesia-siaan, namun hukum tanpa kasih adalah kesewenang – wenangan. Sama halnya ketika Tuhan menyatakan kasih-Nya kepada manusia, Tuhan memberikan aturan yang jelas (patron) tentang prinsip kasih yang akan diterapkan-Nya kepada manusia demikian pula sebaliknya. Ketika Tuhan mengorbankan diri-Nya untuk manusia berdosa sebagai wujud kasih-Nya, maka pada saat itu pula Tuhan meminta kita untuk setia akan komitmen untuk menerima Tuhan. Namun Tuhan tidak saja melulu meminta manusia itu untuk setia, namun Tuhan memberikan pengajaran yang jelas tentang apa itu setia dan bagaimana menerapkannya.
Demokrasi adalah salah satu wujud kasih Tuhan kepada manusia. Sebenarnya melalui kebebasan yang telah diberikan itu, Tuhan mengharapkan adanya umpan balik, yakni melalui tanggung jawab. Seorang manusia sejati itu harus mampu mempertanggungjawabkan kebebasan yang telah ia terima. Secara mendasar Tuhan memang memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir, bertindak dan berlaku, namun bukan kebebasan yang dalam artian tanpa terkendali sampai – sampai berpikir untuk menyingkirkan Tuhan dari konsep berpikir dan dalam kehidupan nyata. Benar memang bahwa manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk menguasai alam semesta, namun bukan sebagai Mahakuasa. Manusia diberikan Tuhan akal dan pikiran untuk mengetahui segala sesuatunya, namun bukan dalam artian Mahatahu. Sepatutnyalah sebagai manusia sejati yang menyatakan benar – benar mengasihi Tuhan haruslah memegang prinsip “janganlah kamu memikirkan hal – hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan”. Manusia sejati cukup hanya memikirkan bagaimana menembus tembok yang telah ia bangun terhadap sesamanya dan mengubahnya menjadi sebuah jembatan. Dan manusia sejati adalah manusia yang berpikir untuk semakin dekat dengan Tuhan, tanpa harus menghilangkan sekat – sekat yang telah ada sebelumnya. Ibarat tetangga dalam satu kompleks yang dapat membina hubungan komunikasi bahkan persaudaraan antara satu sama lain tanpa harus merobohkan tembok – tembok rumahnya yang sudah tercipta sejak semula.

Senin, 26 Oktober 2009

Lakukanlah Sesuai Kapasitasmu


Roma 12 :1-3

Karena itu, saudara – saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah : itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu : Janganlah kamu memikirkan hal – hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing – masing”.

Beberapa bulan belakangan ini Indonesia dikejutkan dengan adanya isu Kiamat Tahun 2012. Fenomena ini didukung pula oleh diterbitkannya beberapa buku yang ditulis para ahli yang coba mengulas dan menganalisa tentang hal tersebut. Dan yang lebih uniknya lagi buku – buku tersebut sudah mencapai predikat ‘best seller’ melihat besarnya animo dan begitu laris manisnya buku tersebut dikalangan masyarakat bak pisang goreng yang selalu dicari dan digandrungi. Hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk mempersiapkan diri mereka dalam menyambut hari kiamat tersebut, terlepas atas dasar apakah mereka mempersiapkannya.

Pada dasarnya adalah hal yang benar dan cukup baiklah kita jika sudah mempersiapkan diri kita sedini mungkin untuk menyambut datangnya kiamat/ hari penghakiman tersebut. Namun yang menjadi pertanyaanya adalah dengan cara seperti apakah kita akan menyambut dan menghadapi hal tersebut? Apakah dengan cara menentukan penanggalannya? Apakah dengan menentukan dimana hal itu akan terjadi? Ataukah dengan melihat gejala – gejala alam yang telah terjadi sebelumnya dan menyelaraskannya dengan apa yang telah dinubuatkan dalam Kitab Suci.

Sebagai besar manusia di dunia ini menganggap bahwa Kiamat itu merupakan hal yang menakutkan dan akhir dari segala sesuatunya. Oleh karena Kiamat adalah hal yang menakutkan, maka dengan cara yang beragam setiap orang berusaha untuk mencari solusi untuk menghilangkan ketakutan itu. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan penanggalan Kiamat itu sendiri melalui berbagai perhitungan angka – angka yang terdapat dalam Kitab Suci atau dengan melihat gejala – gejala alam yang terjadi. Selain itu ada pula dengan cara mengklaim diri sendiri sebagai utusan Tuhan yang telah diberi ilham untuk menetapkan kapan Kiamat itu terjadi dan harus mengajarkannya kepada setiap orang dengan meyakini bahwa merekalah anak – anak terpilih itu. Semua hal tersebut dilakukan oleh setiap orang dengan tujuan agar dapat membuat Kiamat itu sebagai sesuatu yang pasti untuk dilakukan. Nah, ketika Kiamat itu sudah menjadi hal yang pasti, maka manusia itu akan lebih merasa bebas dalam menjalani hidup ini. Mereka sudah dapat menentukan kapan harus berbuat baik dan kapan harus berbuat hal – hal yang berdosa, mereka juga sudah dapat menentukan kapan harus mengumpulkan kebaikan dan kapan harus mengumpulkan dosa dan yang lebih ironisnya mereka juga mampu menentukan kapan harus mendekat kepada Tuhan dan kapan harus menjauh.

Dalam pemberitaan nats di atas dikatakan, Janganlah kamu memikirkan hal – hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan. Jikalau kita membaca teks ini secara mendalam, maka kita akan melihat suatu patron yang jelas bahwa berbicara tentang kapan, dimana dan siapa saja yang ikut ambil bagian dalam Hari Kiamat tersebut adalah kapasitas Tuhan yang notabene sang Mahatahu, bukan kapasitas seorang manusia kendatipun ia menyatakan dirinya seorang ahli. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan, hendaklah kamu berpikir begitu rupa, yang mengindikasikan kepada kita bagaimana kita harus menyadari keberadaan kita sebagai seorang manusia yang diciptakan kurang sempurna dan sangat besar peluang untuk melakukan sebuah kesalahan dan dosa. Atau dengan kata lain dikatakan, karena rupa kita adalah seorang manusia, maka selayaknyalah kita berpikir dan berbuat sebagaimana mestinya seorang manusia.

Seharusnya kita tidak menyibukkan diri dengan menjawab pertanyaan – pertanyaan, apakah ada hari Kiamat itu, bilakah hari Kiamat itu datang atau dimanakah nanti hari Kiamat. Namun hal terpenting yang seharusnya kita lakukan adalah berubah oleh pembaharuan budi kita, yakni dengan mengubah paradigma kita kearah bagaimana memperlakukan Kiamat itu secara manusiawi. Kenyataan membuktikan bahwa kiamat sekarang sudah dijadikan sebagai tolak ukur dalam puncak hidup oleh manusia. Orang beranggapan bahwa ketika Kiamat sudah dekat maka ia akan mengumpulkan segala kebaikan agar nantinya dapat diterima ditempat yang layak. Orang yang tadinya selama hidup tidak pernah memerhatikan sesamanya, namun ketika ia sudah tahu kapan Kiamat itu akan terjadi, maka ia akan berubah 180 derajat dari kebiasaan hidup dan lebih memerhatikan sesamanya. Atau orang yang tadinya begitu pesimis dalam memandang hidup akan berubah 100 persen, ketika ia sudah tahu kapan Kiamat itu terjadi. Kebanyakan orang berpikir bahwa ketika semuanya akan berakhir, maka ia akan mencoba untuk lebih menikmati hidup dan mencoba untuk memperbaiki semua kesahannya sebelum semuanya terlambat dan pada akhirnya ia tidak mendapat tempat yang layak dalam kehidupan kekal nantinya. Adalah suatu hal yang baik serta terpuji ketika kita bisa melakukan yang terbaik dan bisa lebih peduli terhadap sesama, namun yang menjadi pertanyaannya apakah kita melakukan sema hal itu dengan niat yang tulus atau dengan embel – embel menjelang Kiamat saja kita melakukannya.

Melalui penerangan Firman Tuhan pada saat ini kita diajak untuk mampersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Apakah yang berkenan kepada Allah tersebut? Tidak lain, tidak bukan dengan mengubah pandangan hidup kita yang menganggap bahwa Kiamat adalah tujuan hidup dan akhir dari segalanya. Seharusnya kita memandang Kiamat itu sebagai sumber motivasi bagi diri sendiri untuk dapat berbuat lebih baik lagi bagi Tuhan, sesama serta lingkungan hidup. Kiranya Kiamat dapat kita jadikan sebagai bahan evaluasi dalam serangkaian hidup kita untuk semakin disempurnakan lagi menjadi saluran berkat dan menjadi kitab terbukanya Tuhan yang siap dibaca oleh setiap orang dalam keseharian hidup kita. Dengan cara tersebutlah kita akan memahami Kiamat itu sebagai bagian hidup yang telah, sedang dan akan terjadi secara nyata dalam hidup kita, sehingga pada akhirnya kehidupan kita akan semakin terbangun kearah yang lebih positif dan lebih baik lagi. Marilah kita beribadah dengan menanamkan hal – hal yang positif bagi sesama kita bukan dengan embel – embel akan Kiamat, namun dengan memaknai bahwa hidup kita tercipta untuk hal tersebut dan itu adalah kewajiban kita sejak kita sudah menerima berkat kasih karunia itu dari Tuhan.

Be Blessed And Keep Spirit

Kamis, 22 Oktober 2009

Proklamasi Sabda Bahagia


“Ayo, berjalanlah kamu yang terhina!
Ya, kamulah yang empunya kerajaan Elohim!
Ayo berjalanlah, hai kaum lapar masa kini!
Ya, kamu yang akan dikenyangkan!
Ayo, berjalanlah, hai kamu yang sekarang ini menangis!
Ya, kamu akan tertawa.
Ayo, berjalanlah jika orang membencimu,
Mengucilkan, mencapmu dengan besi panas dan membuangmu seakan – akan penjahat oleh karena anak manusia!
Bersoraklah hari itu, menarilah dengan gembira!
Lihat, upahmu besar di surga!
Ya, leluhur mereka sudah berbuat demikian terhadap para nabi.
Tetapi celakalah hai kamu yang kaya!
Ya, kamu sudah mengambil hiburanmu!
Celakalah hai kamu yang sekarang kenyang!
Ya, kamu akan lapar setengah mati!
Celakalah, hai kamu yang sekarang tertawa!
Ya, kamu akan dibenamkan dalam duka dan menangis!
Celakalah, hai kamu yang disanjung – sanjung orang!
Ya, begitulah para leluhurmu berbuat dengan para nabi paslu!
Tetapi, hai kamu yang mendengarku, aku bersabda :
Kasihilah musuhmu,
Berbuat baik terhadap orang yang membencimu!
Berkatilah mereka yang mengumpatmu, doakanlah para pemfitnahmu!”