Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Jumat, 21 September 2012

Potret GKPA Kini dan Sejumlah Gagasan Untuk Masa Depan

“Roh Kudus Meyakinkan Kita Bahwa Yesus Anak Allah”, demikianlah tema yang menjadi tawaran tim redaksi Sioban Barita pada edisi no. 18 (November/Desember 2012). Sekilas membaca tema ini tersirat pertanyaan dalam benak saya, apakah dasar pernyataan ini diangkat sebagai tema Sioban Barita edisi no. 18? Apakah tema ini diangkat dalam rangka membicarakan dan membahas Yesus dalam bingkai Dogmatika (dalam bahasa Inggris diterjemahkan Confession yang artinya sejajar dengan kata Pengakuan)? Atau apakah dalam kehidupan realitas berjemaat yang sudah dijalani oleh GKPA beberapa tahun belakangan ini masih ada pihak yang masih belum meyakini Yesus sebagai Anak Allah, dimana kemungkinan besar para Pelayan Tuhan sudah berusaha memberi pemahaman akan hal tersebut namun yang bersangkutan tak kunjung meyakininya sehingga pada akhirnya diperlukanlah peran serta Roh Kudus untuk meyakinkan pihak tersebut? Cukup konyol mungkin jika terlintas dalam pikiran saya, apakah mungkin GKPA yang baru saja merayakan Hari Kemandiriannya yang ke-37 masih menyibukkan diri mengurus perkara Dogmatik. Bukahkah hal (Dogmatika) tersebut merupakan warisan para tokoh Missionaris terdahulu yang telah meletakkan pondasi iman pada pengakuan Yesus sebagai Anak Allah dan Kepala Gereja kepada setiap orang yang mereka injili termasuk setiap orang yang telah menjadi warga jemaat GKPA saat ini? Dan bukankah para tokoh gereja telah menetapkan satu patron yang mengejawantahkan suatu gereja layak berdiri sendiri secara mapan apabila ia memang sudah memiliki kemandirian, yakni kemandirian dibidang dana, daya dan teologi (termasuk di dalamnya perkara Dogmatika). Dan bukankah sejak awal GKPA sudah memantapkan dirinya untuk berdiri secara mandiri sebagai gereja dalam pondasi ajaran Lutheran dan meyakini Allah yang Trinitatis? Ataukah mungkin ada yang salah dengan proses kemandirian GKPA dahulu? Mungkinkah kemandirian GKPA dahulu terlalu premature dan dipaksakan untuk lahir sehingga membawa dampak pada pemahaman Dogmatika yang cenderung keabu-abuan dan oleh karena itu pada saat ini merasa perlu untuk membahas serta menemukan Dogmatika ala GKPA untuk menghilangkan keprematuran tersebut? Setiap orang akan pasti memiliki intepretasi yang beragam terkait dengan pembahasan dan pembicaraan tema ini, dan apabila semua intepretasi itu dimuat Media Sioban Barita mungkin akan membutuhkan beberapa kolom tulisan dan perlu diterbitkan dalam beberapa edisi (layaknya cerita bersambung) untuk mengulasnya secara tuntas. Beberapa pertanyaan yang telah diajukan dalam alinea sebelumnya dapat dilihat sebagai representasi pikiran yang mencoba untuk membedah tema tersebut dalam “Confession Paradigm” (Paradigma Pengakuan). Dan merupakan hal yang wajar apabila setiap orang mengemukakan pemahamannya yang terbalut dalam pengakuan ketika berusaha untuk mengenal sosok dan keberadaan Tuhan yang “transcendental”. Secara lambat tapi pasti tanpa kita sadari Pengakuan yang selama ini kita pakai sebagai dasar keimanan akan pengenalan Tuhan akan bermetamorphosis menjadi standar untuk menilai kebenaran pemahaman seseorang. Ya, Pengakuan itu berubah menjadi pengAKUan yang memaksa orang lain untuk mengakui dan menerima kebenaran yang kita miliki, seolah kita merasa bahwa apa yang aku pikirkan, aku ketahui dan apa yang aku katakan merupakan kebenaran yang mutlak yang harus diikuti oleh setiap orang. Dan setiap orang yang tidak menerima pengAKUan (apa yang telah aku akui) itu adalah sesat dan tidak benar, dan ia berhak untuk dihakimi dan mendapat hukuman. Bukankah hal itu yang kerap terjadi di tanah air kita saat ini, dimana sering terjadi perpecahan dan pertikaian yang di dasari oleh perbedaan pengakuan. Sebahagian pihak yang merasa dirinya sebagai mayoritas memiliki hak untuk menetapkan satu pengakuan sebagai standar kebenaran yang mutlak, dan apabila ada orang/pihak yang berseberangan dengan pengakuan tersebut ia layak untuk dibina melalui ganjaran hukuman sebagai efek jera atau bahkan bila perlu dibinasakan sekaligus agar dapat menjadi peringatan bagi yang lain apabila tidak patuh dengan pengakuan tersebut, seolah ia telah diberi hak veto oleh Tuhan untuk menentukan kehidupan setiap orang. Demikianlah halnya jika kita membatasi pengenalan kita kepada Yesus hanya dalam ruang lingkup Confession Paradigm, yakni suatu usaha melihat dan mengenal sosok Yesus sebatas ranah pengetahuan (dalam pikiran) dari berbagai literature buku atau dengan memakai pandangan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai ahli sejarah Yesus. Pola pikir seperti inilah yang justru akan membuat orang semakin kabur dalam mengenal Yesus yang sesungguhnya, tidak ubahnya seperti pengakuan Petrus terhadap Yesus sebagaimana termaktub dalam Markus 8:27-30. Selayaknya pengakuan kita akan Yesus sebagai Anak Allah tidaklah berangkat dari apa yang orang katakan dan dari apa yang orang akui, ia haruslah berakar dari pengalaman hidup setiap manusia itu sendiri ketika ia menjalani hidup bersama Tuhan. Pengenalan dan pengakuan akan Yesus haruslah berangkat dari satu rasa, yakni rasa kasih. Bukankah ketika Yesus hadir di tengah-tengah dunia ini Ia mencoba untuk berbagi rasa kasih kepada setiap orang secara pribadi. Kendati Ia memberikan kasih yang sama kepada setiap orang, namun Ia tidak melakukan cara yang sama kepada setiap orang. Disatu sisi Ia menyatakan kasih dalam bentuk mujizat dan penyembuhan, tetapi disisi lain Ia menyatakan kasih dalam bentuk pengajaran. Inilah yang membuat pengenalan akan Yesus begitu unik dan berbeda, yakni ketika Ia menyatakan kasih yang sama dalam berbagai bentuk dan cara yang berbeda sehingga memungkinkan setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengenal dan mengakui-Nya. Bagi-Nya perbedaan pandangan/pengakuan bukanlah hal yang patut untuk dipertentangkan, melainkan dirajut dalam sikap kasih sebagaimana Ia lakukan. Kehadiran-Nya di bumi persada ini tidak hanya sekedar memberitakan Kerajaan Tuhan, Ia juga berusaha mengajak setiap orang akan usaha pemenuhan Kerajaan Tuhan itu melalui tindakan nyata. Bagi-Nya Kerajaan Tuhan bukanlah hanya sekedar harapan yang akan didapatkan kelak, melainkan ia harus dikerjakan dalam konteks kekinian dan pada saat ini. Hal inilah yang disebut dengan “Compassion Paradigm” (Paradigma Kasih). Melalui sudut pandang (paradigma) seperti inilah kita akan mampu melihat Yesus sebagai pelaku Praksis (proses penerjemahan pengetahuan atau pemahaman dalam tindakan dan perbuatan). Dalam visi Yesus, kasih bukanlah suatu verbalisme (pengetahuan tanpa tindakan) atau aktivisme (tindakan tanpa pengetahuan) semata, namun ia adalah praksis. Kasih bukanlah merupakan untaian kata indah tanpa arti, ia adalah rasa yang dapat mengubah rasa hampa, rasa hambar dan rasa tawar menjadi sesuatu yang memiliki citarasa. Dalam realitas kehidupan kekristenan saat ini kerap kali pesan Yesus tersebut menjadi utopia bermuatan gagasan, ide dan jargon-jargon yang seolah tak pernah membumi. Penyampaian berita kasih melalui mimbar-mimbar gereja kini menjelma bagaikan angin surga yang seakan memberi candu bagi para pendengarnya untuk sejenak melupakan kegelisahan dan pergumulan hidup ketika mereka berada di dalam gereja, seolah menjadikan gereja sebagai pusat kedamaian semu dengan menghilangkan fungsinya sebagai penunjuk jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut diperlengkapi pula oleh pemahaman sebahagian dari para pelayan Tuhan yang mencoba meng’update’ orientasi pelayanannya pada suatu kepentingan untuk mencapai singgasana pemangku jabatan dan kuasa nantinya. Yang mana dengan sendirinya mereka mengikrarkan diri mereka sebagai penguasa dibidang keagamaan, sebagaimana dalam tradisi Yahudi yang mengagungkan Mesias sebagai penguasa keagamaan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa situasi dan keadaan ini terbias dari kehidupan masyarakat umum dan kondisi politik di Indonesia saat ini yang selalu menganggap orang kuat dan berkuasa yang akan menjadi pemenang. Dan inilah yang membuat orang-orang berlomba-lomba menjadi penguasa dibanding menjadi pemberi rasa. Setiap orang akan memilih menjadi gunung tinggi yang akan dilihat karena kebesarannya dari pada memilih menjadi garam yang akan hilang jika dilarutkan ke dalam cairan. Realita ini tidaklah terjadi di negeri yang nun jauh disana, tetapi ia terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Negara dimana GKPA dilahirkan dan dibesarkan hingga mencapai usia 37 tahun. Di dalam perjalanan hidupnya selama 37 tahun bersama Tuhan (baca: Yesus) sudah semestinya GKPA mengenal, mengetahui serta mengakui siapa Yesus dan apa yang telah Ia perbuat bagi GKPA. Tidaklah terlalu berlebihan jika saya mengatakan sudah bukan porsinya lagi GKPA menemukan wajah Yesus dalam tatanan Dogmatika. Sudah saatnya GKPA melangkah pada pengenalan Yesus dalam karya serta perbuatanNya melalui panggilan dan tindakan berdiakonia. Sudah waktunya GKPA untuk belajar melihat, mendengar serta memahami orang-orang di sekitarnya, dengan tidak mengutamakan kepentingan pribadi. Gagasan menjadi “Sense Giver Church” (gereja pemberi rasa) seyogianya dimunculkan dalam Masterplan GKPA. Langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengerjakan hal tersebut adalah pemantapan bidang atau bagian yang berkaitan dengan usaha dan diakonia. Dan salah satu contoh konkrit yang saya ingat pernah dilakukan oleh GKPA untuk memantapkan bidang Diakonia adalah pembentukan Parpem (Partisipasi Pembangunan) dalam tubuh GKPA. Walaupun pada kenyataannya rencana ini belum berjalan secara mulus dan maksimal. Oleh karena itu belajar dari pengalaman yang kurang baik ini hendaknya marilah kita melihat bahwa upaya pemaksimalan Parpem jangan terlebih dahulu dimanifestasikan sebagai ‘alat’ untuk menjual program sehingga dapat memperoleh income dari lembaga-lembaga asing, tetapi hendaknya ia dioptimalkan sebagai langkah untuk membangun kelompok yang saling bertumbuh bersama (Community Development) di dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Semestinya secara sadar GKPA mampu membangun sense of belonging dalam tubuh jemaat melalui upaya individual consideration ataupun pendampingan ketika akan mengerjakan satu proyek sehingga tidak berakhir sebagai usaha menjaring angin. Karena hal pertama dan utama yang harus dilakukan untuk memahami jemaat dalam konteks gereja sebagai pemberi rasa adalah dengan mendengarkan mereka dan menaruh empathy terhadap mereka, bukan sekedar bersimpati dan menganggap bahwa kita (sebagai superior) atau pun gereja mampu memenuhi keinginan mereka (sebagai inferior). From listen we can understand our community and from observation we can building our community. Ketika kita telah memahami Roh Kudus meyakinkan kita bahwa Yesus Anak Allah dalam “Compassion Paradigm”, maka seharusnya kehidupan kita (baca: GKPA) sudah terpola pada kehidupan yang telah diteladani oleh Yesus Kristus (ketika Ia telah menginjakkan kaki-Nya di bawah langit dan di atas bumi ini) sebagai pemberi rasa (kasih) yakni melalui teladan kepedulian dan sikap belarasa kepada setiap orang. Semoga saja harapan ini dapat diwujudnyatakan oleh GKPA dalam setiap pelayanannya dan arak-arakan perjalanan organisasinya, yang sudah barang tentu diawali oleh Pucuk Pimpinannya sebagai “First Person” dalam tubuh organisasi yang serta merta akan diikuti oleh rekan-rekan sepelayannya. Dengan cara seperti inilah maka akan terwujud warga GKPA yang menjadi pembawa kelepasan, keteduhan dan kedamaian dalam kehidupannya berkeluarga, berjemaat serta juga bermasyarakat sebagaimana disuarakan dalam subtema GKPA masa pelayanan 2011 – 2016. Dan biarlah kiranya gagasan yang dituangkan dalam tulisan sederhana ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk melihat gambaran GKPA dimasa mendatang sebagai gereja pemberi rasa. And the last as conclusion: “When Confession Paradigm and Compassion Paradigm fusing by praxis, it’s will be power to save all who believe”.