
Di antara sekian bidang kehidupan yang sangat dibutuhkan manusia, dalam hal ini dapat disebut tiga hal. Ketiganya dapat menjadi kekuatan konstruktif untuk kebaikan umat manusia, tetapi ketiganya juga dapat menjadi kekuatan destruktif jika dijalankan atas dasar pementingan diri sendiri atau komunitas sendiri.
Pertama, Agama. Ini memang sangat menyedihkan. Sebab, semua agama mengklaim memiliki ajaran sebagai landasn kuat bagi warganya untuk mewujudkan damai. Dengan kata lain, semua agama adalah agama damai. Tetapi ironisnya, banyak konflik bahkan perang yang terjadi justru disulut oleh kepentingan agama. Ketika komunitas agama tertentu terperosok ke fanatisme sempit keagamaan, maka yang terjadi adalah kecurigaan, permusuhan bahkan peperangan terhadap penganut agama lain. Selama manusia menganggap agama lebih penting dari manusia, maka damai merupakan sesuatu yang mustahil. Tetapi ketika setiap penganut agama dengan jernih melihat dan mengakui bahwa yang mempersatukan umat manusia jauh lebih baik dan manusia juga lebih penting ketimbang agama, maka perdamaian akan dapat diwujudkan.
Perbedaan agama adalah kenyataan yang harus diterima oleh setiap orang. Dalam menggambarkan agama – agama diseluruh dunia Mark Juergensmeyer menggunakan sebuah gambar peta yang menarik, dimana peta dunia diwarnai sesuai dengan keragaman agama dan wilayah tertentu. Peta ini hendak menyatakan bahwa identitas agama tidak pernah tersekat dalam satu wilayah. Hal ini semakin jelas jika dilihat dari fakta yang ada. Sebelum Pakistan berdiri, seperempat penduduk India adalah Muslim, bahkan saat ini 15% penduduk India beragama Islam. Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia adalah tempat agama Hindu di Bali, Budha dan Kristen. Hal yang sama terdapat di negara – negara lain juga. Atau dengan kata lain, hampir seluruhnya negara dihuni oleh penganut agama yang berbeda. Mengacu pada kenyataan ini, dibutuhkan kearifan dalam menjalani kehidupan dalam konteks kemajemukan negara.
Kedua, Ekonomi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kepentingan ekonomi merupakan salah satu sumber penderitaan bagi banyak orang. Dunia ini amat sarat dengan perlombaan tidak sehat demi pencapaian keinginan dangkal manusia sebagai pribadi, kelompok atau sebuah bangsa. Kemakmuran ekonomi sbagian kecil warga Bumi ini justru dibangun atas penderitaan jutaan orang karena struktur dan sistem ekonomi yang tidak adil. Akibanya muncul aneka kekekrasan sebagai wujud perlawanan terhadap ketidakadilan itu, meskipun perlawanan demikian bukanlah cara yang baik. Sebab kekejaman, tidaklah semestinya dilawan dengan kekejaman baru. Selama manusia dirasuki roh kerakusan materi, damai tidak akan pernah terwujud.
Kata “ekonomi” berasal dari kata Yunani oikos ( yang biasa diartikan dengan rumah, rumah tangga ). Artinya, dalam kata ekonomi sebenarnya terdapat muatan yang amat mulia yakni : persaudaraan, saling peduli, saling membantu sebagimana layaknya terjadi dalam sebuah keluarga. Dunia dan bangsa – bangsa membutuhkan sistem ekonomi yang dapat menjadi wahana yang mewujudkan perdamaian di dunia ini.
Ketiga, Politik. Tidak jarang terjadi bahwa permusuhan muncul dari perbedaan keyakinan politik yang biasanya menyatu dengan perebutan kekuasaan, baik dalam lingkungan suatu negara maupun dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mewujudkan damai, politik harus kembali pada esensinya. Secara harfiah, politik (Yunani : polis) diterjemahkan dengan “kota”. Tetapi polis menunjuk pada seni penataan kehidupan bersama yang baik, rukun dan damai. Karenanya, perjuangan sebuah partai politik, misalnya bukanlah untuk kepentingan sempit sebatas kepentingan partai itu sendiri, melainkan demi kebaikan bersama. Roh kerakusan kekuasaan dan pementingan kelompok sendiri merupakan musuh perdamaian yang harus disingkirkan juga secara damai.
Jika salah satu dari bidang kehidupan tersebut di atas memerankan potensi destruktifnya maka hal itu sudah dapat menciptakan kekacauan. Apalagi kalu ketiganya berpadu sedemikan rupa menjadi mega – potensi destruktif, maka dapat dibayangkan betapa kacaunya dunia ini. Kita membutuhkan ketiganya berpadu sedemian rupa menjadi potensi konstruktif, sehingga damai memenuhi dunia ini.
Nah, yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah dari mana damai itu harus dimulai? Apakah mungkain dunia damai dan antar komunitas damai kalau pribadi – pribadi di dalamnya tidak memiliki damai? Dalam hal ini, tidak ada keraguan bahwa damai dalam komunitas dunia, komunitas agama dan lain – lain serta damai antar – komunitas hanya bisa terwujud jika setiap orang benar – benar memiliki hati yang damai.
Bagi orang Kristen, damai bukanlah sesuatu yang dapat diproduksi oleh manusia. Damai adalah anugerah Tuhan. Yesus sendiri berfirman, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh. 14:27). Kita dapat memberian perhatian khusus pada kata “Kuberikan kepadamu” dan “tidak seperti yang diberikan dunia”. Dengan mengatakan “Kuberikan kepadamu”, Yesus hendak menegaskan bahwa damai yang sesungguhnya adalah anugerah-Nya dan hal itu benar – benar sudah Ia nyatakan dalam pelayanan-Nya. Selanjutnya, “tidak seperti yang diberikan dunia ini” hendak menyatakan kesempurnaan damai yang dianugerahkan-Nya yang benar – benar lain dari “damai” yang dipahami dan dipraktekkan dunia ini. Dunia biasanya menganut “damai jika”. Saya mau berdamai dengan engkau jika engkau melakukan ini dan itu. Komunitas kami mau berdamai dengan komunitas mereka jika mereka memenuhi syarat – syarat yang kami tentukan dan seterusnya.
Orang – orang Kristen – atas dasar damai Kristus – hendaknya menghidupi “damai meskipun”. Saya berdamai dengan engkau meskipun... Kata meskipun disini bisa diisi misalnya dengan “meskipun engkau membenci saya”, “meskipun engkau tidak seperti yang saya harapkan”, dan lain – lain.
Dalam kaitan itu, menyambut Kristus adalah sekaligus menyambut dan mewujudkan damai. Hal ini seturut dengan makna kedatangan Kristus ke dunia ini. Kita ingat misalnya seruan para malaikat dalam peristiwa kelahiran Yesus yang mengatakan, “Kemuliaan bagia Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di Buni diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14). Urutannya bukanlah secara kebetulan : Kemuliaan bagi Allah....damai di Bumi. Tidak boleh dibalikkan menjadi: ”Kemuliaan bagi manusia” dan “damai bagi Allah”. Namun kenyataannya justru pembalikan seperti inilah yang sering terjadi sehingga damai tidak kunjung sepenuhnya terwujud. Artinya, ketiak manusia merampas kkemuliaan Allah, maka damai tidak akan mungkin terjadi di dunia ini. Yang terjadi adalah justru persaingan, kekerasan, penindasan, dan sebagainya.
Kedamaian dan kebahagiaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pada zaman ini banyak orang menakar ‘kebahagiaan’ berdasarkan perolehan materi. Kebahagiaan dipahami sebagai pemenuhan hasrat hati dan keinginan. Itulah sebabnya zaman ini ditandai dengan hiruk pikik pencarian dan penumpikan harta duniawi. Tetapi apakah mereka bahagia? Apakah dengan harta melimpah membuat orang merasa damai? Dari berbagai survei yang telah dilakukan, ternyata kepemilikan materi bukanlah penetu tingkat kebahagiaan. Sejarah sudah memberi berbagai fakta yang manjadi bahan pelajaran dan perenungan bagi kita.
Yesus mengatakan, “berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak – anak Allah.” (Mat. 5:9). Kata yang digunakan adalah “membawa damai” tidak “menciptakan” damai. Hal ini sesuai dengan yang sudah disebutkan tadi bahwa manusia tidak menciptakan damai dari dirinya sendiri. Manusia menerima sebagai pemberian Tuhan yang sangat berharga. Manusia tidak tidak mungkin membawa apa yang tidak dimilikinya. Hal yang sama, manusia tidak dapat membawa damai jika ia tidak memiliki damai itu dalam dirinya sendiri. Dunia amat beruntung dengan kehadiran para pencinta damai dalam perjalanan sejarah dunia ini seperti Ibu Theresa, Marthin Luther King, Jr, Mahatma Gandhi, Brother Roger (Taize), Nelson Mandela dan lain – lain. Mereka adalah pembawa damai yang benar – benar memiliki damai dalam hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar